Oleh : Arsal Amiruddin
Lanjutan – Bila melihat amanat di beberapa regulasi desa, setidaknya memberi harapan agar kran-kran partisipasi dan aspirasi tetap terbuka lebar bagi segenap warga desa. Meski begitu, berharap menemukan solusi cepat untuk menjaga agar kran aspirasi tetap dibuka oleh birokrasi desa atau tetap digunakan oleh warga desa, belum tentu tercapai mudah.
Sistem keterbukaan informasi dan penyaluran aspirasi patut tetap didorong secara berjenjang demi mengupayakan pihak birokrasi desa tidak seenak hati mengeliminasi aspirasi dan ruang-ruang partisipasinya, atau justru memberi ketakutan bertindak bagi birokrat dan pelaksana kegiatan karena tindak partisipasi pengawasan yang amat kritis dari warga desa atau juga lembaga pengawasan lainnya.
Berkaca pada kasus pemberedeilan kantor desa oleh warga desanya, beberapa waktu kemarin di satu atau dua desa di Luwu Timur, setidaknya memberi dua sinyalemen. Pertama, ada dominasi yang terlalu besar oleh birokrasi desa dalam mengendalikan ritme penganggaran, pelaksanaan kegiatan, hingga proses pertanggungjawabannya, sehingga keterlibatan warga desa jadi terlihat minim.
Adanya gerakan warga desa pada akhirnya hingga melakukan aksi pembreidelan – dengan atau tanpa keterlibatan tingkat pengawas di desa – dapat menunjukkan titik lemah dari sistem pengawasan berjenjang itu untuk terlaksana secara efektif berdasarkan alur regulasinya, atau justru belum dapat diupayakan benar-benar efektif dalam kesepaduan sistemnya.
Kedua, semangat keterlibatan warga dalam mengawal pembangunan di desa setidaknya masih dapat dilihat tak sungguh-sungguh menghilang, meski kadangkala hanya ketika situasi mulai kritis dan kronis. Selain kasus pembreidelan tersebut, tingkat partisipasi juga bisa diamati untuk isu yang secara relatif memiliki dampak langsung atau punya relasi ekonomi.
Misalnya, tingkat partisipasi dapat berlipat-lipat saat perbincangan tentang raskin, dana stimulan, atau seperti beberapa tahun lalu, saat pembicaraan tentang dana Community Development (Comdev) dari korporasi tertentu. Coba bandingkan tingkat partisipasi itu saat berlangsungnya musyawarah desa (musdes) tentang penyusunan APBDesa, penggodokan perdes tentang retribusi di desa, pembicaraan tentang menjaga kebersihan di desa, dan lain sebagainya.
Kecenderungan partisipasi yang rendah atau tinggi, barangkali berhubungan pula dengan tingkat pemahaman warga desa terhadap topik perbincangan dan unsur maslahat yang dapat mereka capai secara bersama. Mengupayakan senantiasa memberi penjelasan memadai terkait urgensi isu bahasan setiap kali berlangsungnya agenda pertemuan atau musdes, setidaknya dapat sedikit merangsang warga untuk berkontribusi di tingkat perencanaan hingga evaluasi pembangunan.
Persoalan yang cukup pelik, sejauhmana wujud partisipasi atau aspirasi masih dapat didengarkan oleh birokrasi desa, terutama bila telah bersangkut-paut dalam ranah kritik “bertubi-tubi” warga terhadap kinerja atau arah kebijakan birokrasi? Menempatkannya dalam situasi yang ideal, bagaimanapun, tetap saja potensial diwarnai benturan dan memasuki ruang-ruang konflik.
Salah satu pergeseran yang dapat diamati tengah terjadi pula di banyak desa, bahwa budaya kekeluargaan yang biasa menjadi peredam situasi-situasi potensial konflik, entah melalui mediasi tetua kampung atau aturan-aturan tak tertulis tentang tata-cara kritik serta penyelesaian masalah, di samping kian luntur juga punya kecenderungan untuk disalahartikan dan sekadar digunakan sebagai media perlindungan pihak birokrasi dari kemungkinan laku penyelewengan.
Suka atau tidak, bentuk pengawasan berjenjang itu dapat dilihat pula sebagai wujud kerja-kerja kolektif lainnya yang tak hanya milik identik warga desa, dan tindak pengawasan warga juga harus ditempatkan dalam kacamata partisipasi dan aspirasi melalui bentuknya yang berbeda. Membiasakan cara berpikir demikian, akan membawa birokrasi desa tak lagi tabu dengan proses pengawasan dan pertanyaan warga atau kalangan umum tentang beragam persoalan.
Senyatanya, peluang aksi warga secara sepihak atau sarat kepentingan serta beberapa lembaga pemerhati yang potensial pula menjadikan birokrasi desa sebagai sapi perah, juga harus tetap diantisipasi. Salah satunya dengan tetap mendorong wadah pengawasan berjenjang itu diketahui oleh warga desa secara lebih luas, tetapi juga dapat difahami tata-cara pelaporannya secara lebih mudah oleh lebih banyak warga.
Sistem pelaporan ke satgas dana desa, sistem pengawasan terpadu pihak inspektorat, perangkat pelaporan online kejaksaan, layanan pengaduan ke pihak kepolisian, hingga model surat pembaca media atau portal berita, bahkan dapat dibuat terkoneksi satu sama lain, untuk memberi jaminan bagi warga agar tetap memiliki kedaulatan dalam melakukan pengawasan.
Salah satu tingkat pengawasan yang pula terasa belum benar dioptimalkan fungsinya yakni, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), kerap berada dalam posisi subordinat di bawah birokrasi desa dan peran-perannya seringkali masih terbatas sekadar untuk pengesahan dokumen RPJMDesa, RKPDesa, APBDesa, atau menilai laporan pertanggungjawaban pemerintah desa.
Fungsi-fungsi BPD dalam penjaringan aspirasi tampaknya masih harus dikreasi lebih kontinu dalam waktu-waktu ke depan, terutama untuk benar-benar memosisikan fungsi tersebut benar-benar optimal sebagai wadah aspirasi warga, bahkan bagi mereka yang tak lagi memiliki waktu untuk secara rutin mengikuti isu-isu yang berkembang di desa.
Fungsi itu juga dapat diperluas ke pelibatan mereka dalam sistem pengawasan berjenjang yang telah tersedia di tingkat di atasnya, termasuk mengawal serta menilai aspirasi-aspirasi warga yang belum mendapatkan jawaban atau penyelesaian secara memuaskan serta kemungkinan intervensi program dari birokrasi desa.
Kecenderungan yang barangkali masih membutuhkan perbincangan lebih jauh, adalah bagaimana menjaga agar birokrasi desa tidak dikebiri fungsi-tugas hingga kebijakan-kebijakannya hanya oleh kemungkinan logika kepentingan tiap anggota BPD, yang selalu akan mengesankan sebagai representasi perwakilan dari aspirasi warga desa?
Forum rembug warga di desa, meskipun menghadirkan peluangnya untuk membawa konsepsi demokrasi secara utuh, ataupula peran BPD sebagai penjaring dan pengawal aspirasi dalam amanat regulasi, tetap harus berada dalam siklus terbuka yang dapat diamati perannya oleh warga desa. Laporan kinerja BPD tampaknya masih sulit dilihat sebagai catatan pembanding dari kinerja birokrasi, apalagi membayangkannya sebagai gambaran evaluasi kinerja pemerintahan desa tahap demi tahap.
Sejauh ini sistem keterbukaan informasi telah diupayakan agar dapat berjalan dan dilakukan secara efektif di setiap desa. Beberapa saat yang lalu, penyediaan basis informasi di desa juga telah mendapatkan rujukan hukumnya, yang mengamanatkan agar birokrasi desa dapat menunjuk seorang penanggungjawab dari Penyedia Pelayanan Informasi Desa (PPIDesa) bagi warga dan kalangan umum.
Salah satu yang tampaknya masih tertinggal, karena perubahan pola kehidupan dan penghidupan warga sehingga mempengaruhi kebiasaan di desa dalam kerja-kerja kolektifnya, tampaknya telah mewajibkan pula untuk membuat semacam wadah serupa untuk penjaringan dan penyaluran aspirasi di desa secara terbuka.
Sehingga, ketidakhadiran mereka dalam ruang-ruang musdes karena beragam faktor, tidak harus menjadi penghalang dalam upaya menyalurkan aspirasi dan wujud partisipasinya. Persoalan kehadiran mereka dalam agenda gotong-royong warga barangkali tetap tak terselesaikan, tetapi peluang kepedulian dan keterlibatan warga setidaknya tidak dieliminasi, lalu secara janggal dinyatakan bahwa semangat kolektivitas dan jiwa sosial warga desa telah benar-benar mati. (bersambung)