Laporan : Mda / TO
JAKARTA,Timuronline – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan, setelah 20 tahun reformasi kita perlu melakukan evaluasi menyeluruh.Saat ini kita hidup dalam realitas yang baru yang penuh dengan kesulitan.
“ Banyak bukti orang pesimis, tetapi bagi mereka yang berkuasa pun banyak pula yang optimis. Jadi tergantung pada masalah posisional saja,’’ kata Jimly pada acara diskusi Peringatan 19 Tahun Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) yang mengangkat tema ‘’Telaah dan Evaluasi 20 Tahun Reformasi’’ yang dilaksanakan Pengurus Pusat INTI di Auditorium Perhimpunan INTI Jakarta, Kamis (26/04/18).
Diskusi yang dihadiri sekitar 100 peserta itu juga menampilkan Bondan Gunawan mantan Menteri Sekrearis Negara era Presiden Gus Dur, Ester Indahyani Yusuf, salah seorang pelaku reformasi, Muhammad Najib, salah seorang tangan kanan Amin Rais, Wartawan Kompas IwanOng, dan mantan Rektor UIN Jakarta Prof.Dr.Komaruddin Hidayat.
Menurut Jimly selama 20 tahun jika dilihat dari sisi positif, perubahannya luar biasa.
“ Bisa nggak kita bersyukur untuk kedepan dan ini berkaitan dengan pilihan moral saja,” ujarnya.
Dia mengatakan, dulu jika ada masalah cukup diperbincangkan secara internal saja, namun kini dengan maraknya penggunaan media social semuanya sudah terbuka. Komunikasi public sekarang ini berbeda dengan dulu. Kesenjangan hidup saat ini berhimpit dengan kekuatan ekonomi, etnitas, dan agama.
“ Oleh sebab itu, bagaimana dalam kehidupan ini terlibat dalam pergaulan inklusif,” sebutJimly.
Sementara Komaruddin Hidayat mengatakan, agenda reformasi adalah mengubah pemerintah sentralistik menjadi desentralisasi, menghapuskan korupsi, dan mencegah adanya presiden yang otoriter.Namun kenyataannya, dengan desentralisasi muncul putra-putra daerah yang semula diharapkan tidak terlibat dalam tindak korupsi, malah yang terjadi justru putra daerah banyakyang korupsi.
Ketika pemerintah sentralistik, partai politik merupakan subordinasi dari pemerintah. Pada Negara dengan system reformasi kekuasaan yang ada pada Negara beralih kemasyarakat yang terlembagakan melalui partaipolitik.
“ Tetapi partai politik begitu berkuasa, mengakibatkan biaya politik mahal.Parpol yang miskin akan melakukan migrasi kekayaan dengan politik uang. Koalisi antara mereka yang memegang saham politik dengan partai politik menjadikan partai politik itu bagaikan ‘’jualan boarding pass’’. Contohnya, artis-artis dan yang punya duit bergabung dengan parpol,” kata Komaruddin Hidayat.
Dia mengatakan, legalitas parpol di belakangannya adalah finansial. Pada gilirannya, massa dan agama dimunculkan sebagai saham politik. Parpol memperbanyak saham sehingga dapat mencalonkan kadernya menjadi elite pemerintah, menteri dan legislatif. Sekarang ada kelompok yang iri, karena menganggap diri penduduk asli. Dulu itu tidak terjadi, karena kendali Negara begitu kuat. Kini terjadi ‘’beyond political game’’ (politik di luar negara).
“ Sekarang parpol menguasai dan kalau ini terus terjadi, maka Negara akan stagnan. Untung Jokowi kerja keras meski bukan sebuah tim orchestra yang kompak,,” demikian Komaruddin Hidayat sebagai mana dilaporkan timuronline dari Jakarta. (Redaksi)