Oleh : Arsal Amiruddin
Setiap kali menyinggung tentang isu desa, setiap kali keluhan hadir tentang kian lunturnya semangat yang menjiwai hidup dan kehidupan masyarakat perdesaan. Gotong-royong misalnya, yang dipandang telah menjadi semangat hidup warga desa sejak lama, dipandang telah terkikis karena faktor-faktor yang banyak.
‘Semakin desa sebuah desa’, gambaran bagi wilayah yang secara relatif belum terlalu tersentuh dengan iklim modernitas, semangat gotong-royong atau kerja-kerja kolektif itu tumbuh dan amat lekat di desa. Hal ini pula yang melatari hingga para peletak dasar negara kita, memosisikan gotong-royong sebagai sendi terpenting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam Sidang Badan Persiapan Usaha-usaha Kemerdakaan Indonesia (BPUPKI) yang digelar pada 29 Mei – 17 Juli 1945, prinsip gotong-royong malah disebut oleh Ir. Soekarno sebagai semangat yang menjiwai keseluruhan sila dalam Pancasila (Effendi, 2013).
Gotong-royong telah menjadi akar kebangsaan yang hidup dan dipraktekkan di tengah masyarakat Indonesia sejak dahulu. Semangat itu pula dapat terlihat di undang-undang desa sebagai sebuah asas yang penting digalakkan dari akar kebangsaan.
Bersama seluruh asas lainnya, gotong-royong dipandang sebagai spirit yang dapat menggerakkan desa-desa dalam mewujudkan visi kesejahteraan berdasarkan arah yang ditentukan oleh warga desa sendiri.
Beberapa hal yang kerap disebut mempengaruhi hilangnya semangat gotong-royong, selain disebabkan proses modernisasi dengan suasana kebebasan yang melahirkan watak individualistis dan kejumudan kehidupan perkotaan, juga ditengarai terjadi karena perkembangan penghidupan serta tingkat aktifitas dan kesibukan yang sedikit banyaknya, berasosiasi dengan berkurangnya waktu luang.
Bila ditilik lebih detail, beberapa kemungkinan yang turut mempengaruhi menurunnya tingkat partisipasi dan semangat gotong-royong di desa, dapat dirujuk pada beberapa kemungkinan berikut.
Pertama, ada kecenderungan perubahan kelas sosial di masyarakat telah mengubah secara drastis kebiasaan warga dalam berkumpul dan turut-serta dalam kerja-kerja kolektif. Beberapa tahun silam ketika kelas ekonomi masyarakat hanya di isi oleh nelayan dan petani, waktu luang untuk berkumpul menjadi jauh lebih besar ke balai desa atau turut-serta dalam kegiatan gotong-royong di hari Jum’at, Sabtu atau Minggu.
Masyarakat memiliki keleluasaan dalam waktu-waktu kerja mereka, karena masa sibuk warga hanya berlangsung pada saat musim tanam atau musim panen bagi petani, dan waktu laut tenang atau tengah terang bulan bagi nelayan. Seiring waktu, klasifikasi jenis pekerjaan di tengah masyarakat mulai bertambah dan kian beragam.
Temuan tekhnologi dan varietas baru tanaman komoditas bernilai ekonomi kian banyak, sehingga bahkan petani yang dahulu hanya menanam dan memanen setahun sekali, kini telah disibukkan dengan urusan-urusan di ladang yang panen terus-menerus.
Kelas ekonomi lain juga berurusan dengan waktu kerja yang sibuk, sehingga agak repot membayangkan seorang Teller Bank dapat mengikuti Musyawarah Pembahasan RKPDesa di hari Senin atau Selasa di Balai Desa.
Kedua, ketidakpercayaan warga terhadap birokrasi modern dalam menyelesaikan masalah-masalah mereka, membuat kepentingan terhadap birokrasi kerap berlangsung hanya saat pengurusan KTP terutama jelang pemilu, pembuatan akta lahir, pembuatan surat pengantar, dan semacamnya. Proses musyawarah yang digelar setiap tahun dianggap nihil hasil, karena panjangnya proses birokrasi yang harus dilalui dan proses politik yang turut mempengaruhi.
Bahkan ada kesan yang sesekali hadir dari perbincangan warga, bahwa tanpa musyawarah sekalipun program yang masuk ke desa telah ditentukan oleh para politisi, atau telah diatur sedemikian rupa hanya untuk pendukung rezim tertentu di tiap tingkatan.
Hal ini menimbulkan sikap apatis warga untuk turut terlibat dalam musyawarah-musyawarah yang digelar di desa, terlebih untuk turut berpartisipasi dalam kerja-kerja kolektif, karena hasil bahasan selalu berurusan dengan politik kepentingan di setiap jenjang.
Ketiga, ada kecenderungan persepsi yang keliru terkait proses perencanaan di desa yang sama sekali terlepas dari kepentingan dan hak-hak warga. Tugas warga adalah bekerja, sementara tugas pemerintah adalah merumuskan, merencanakan, melaksanakan, mengawasi dan mengevaluasi setiap tahapan program dan kegiatan di desa. Warga memposisikan diri sebagai objek terlemah di desa, sebagai orang-orang bodoh yang pendapatnya tak layak didengarkan, dan telah diamanatkan kepada perwakilan mereka di sistem pemerintahan desa.
Kecenderungan ini diperparah dengan mandulnya lembaga-lembaga pemerhati yang dapat menjadi perpanjangan tangan warga dalam pengawalan usulan, serta ketidakaktifan pemerintah desa dalam mendorong tingkat partisipasi sebagai hak-hak warga dalam menyatakan pendapat dan aspirasinya.
Kurang dibukanya kran aspirasi di lingkup birokrasi dan lemahnya lembaga pemerhati dalam melanjutkan aspirasi, menjadikan warga perlahan mandul dan bersikap apatis dalam menyuarakan hak-hak mereka di ruang publik, dan menganggap hal-hal tersebut telah diwakilkan kepada orang-orang cerdas di desa.
Terakhir, budaya kritik selalu ditempatkan sebagai bukan karakteristik khas di dunia timur, sehingga mendudukkan persoalan secara kekeluargaan dipandang jauh lebih arif dan sesuai adab serta tata-krama. Wilayah birokrasi desa dan tugas-tugas birokratis kerap menjadi wilayah minim interupsi, sehingga bahkan bentuk-bentuk penyimpangannya kadangkala dipandang sebagai wajar dan memang harus dilakukan demi maslahat bersama.
Menimbang seluruh faktor-faktor tersebut, tampaknya gotong-royong di desa telah harus di formulasi ulang agar tak menjadi sekedar nama tanpa substansi dan penerapan. Kerja-kerja kolektif saya kira tak harus menjadi khas milik warga desa. Memang tak dapat dipungkiri bila kemajuan desa telah berimplikasi pada berkurangnya frekuensi pada kerja-kerja kolektif.
Perubahan demi perubahan yang berlangsung di desa saat ini, telah membuat waktu-waktu berkumpul mereka tak lagi amat intens sebagaimana dahulu. Hanya saja, menyatakan semangat altruistik dan jiwa sosial masyarakat pula mengalami penurunan kian hari, saya kira masih membutuhkan perbincangan lebih jauh.
Kian mandulnya lembaga-lembaga pemerhati di desa tak serta-merta dapat dinisbatkan semata pada kelemahan mekanisme internal tiap kelembagaan di desa. Pada beberapa kasus kerja-kerja kolektif itu justru ditunjukkan oleh kelompok atau lembaga-lembaga sosial, meskipun ruang lingkup dan tema mereka tak secara spesifik berfokus pada isu-isu di tingkat desa.
Ini menandaskan bila sebagian warga desa tak benar-benar kehilangan daya kritis mereka. Ketika keberadaan kelembagaan di desa tak memenuhi ekspektasi mereka, kecenderungan untuk berkelompok dalam ruang dan lingkup lainnya tampak tetap menjamur di banyak tempat.
Melemahnya lembaga pemerhati, boleh jadi pula terjadi karena ketertutupan birokrasi desa dalam menempatkan kritik atau pemikiran kreatif, sehingga gagasan-gagasan yang ‘tak birokratis’ atau tak menjadi bagian dari kerja-kerja birokrasi lebih dipandang sebagai rintangan ketimbang tantangan.
Upaya untuk melakukan reformulasi waktu berkumpul warga, pula dalam mendorong partisipasi dalam gaya baru ketimbang memanfaatkan media-media yang sejauh ini dikenali, adalah langkah inovatif untuk tetap mengupayakan warga desa tetap menjadi bagian integral dari setiap perumusan kebijakan di desa.
Kesepakatan atau debat persetujuan mereka selayaknya dipandang sebagai wujud kepedulian, yang sedikit-banyaknya dapat menunjukkan tidak saja kehadiran warga desa sebagai pemilik aspirasi, tetapi juga orang-orang di dalam sistem pemerintahan sebagai pihak yang mampu mendengarkan hingga menjaring aspirasi. (bersambung)