MOROWALI,Timuronline – Isu kepemilikan tanah ulayat kembali mencuat di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, setelah kelompok yang menamakan diri sebagai Pong Salamba mengklaim lahan di kawasan hutan sebagai bagian dari tanah adat mereka. Klaim ini menimbulkan keresahan dan menuai respons dari berbagai pihak / pemangku kepentingan, termasuk pemerintah desa dan tokoh masyarakat setempat, yang menegaskan bahwa wilayah yang diklaim tidak memiliki catatan historis sebagai tanah ulayat.
Menanggapi hal ini, Kepala Desa Uluere Arman angkat bicara atas kisruh klaim pemilikan lahan yang datang dari kubu Pong Salamba. Arman mengatakan, klaim lahan tersebut tidak benar adanya, dan setelah dilakukan verifikasi ke sejumlah tokoh masyarakat setempat, termasuk aparat desa, menyatakan tidak pernah mengetahui adanya tanah ulayat di wilayah yang diklaim tersebut.
Kades Uluere menyebutkan, wilayah yang diklaim sebagai tanah ulayat tidak memiliki catatan historis di Desa Ululere sebagai bagian dari kepemilikan adat.

Desa Ululere sendiri merupakan pemekaran dari Desa Kolono sejak tahun 1937. Ia menegaskan bahwa masyarakat asli Desa Ululere tidak pernah mengetahui adanya aktivitas atau klaim terkait tanah ulayat oleh kelompok Pong Salamba di wilayah tersebut.
“Sejak saya lahir tahun 1980 sampai saya bekerja di area tambang pada 2009-2010, tidak pernah ada aktivitas apapun yang menunjukkan adanya tanah ulayat di lokasi yang diklaim. Kami juga telah menggali informasi dari tokoh-tokoh masyarakat desa, dan mereka menyatakan bahwa klaim tersebut tidak benar,” tegas Arman.
Pernyataan ini diperkuat oleh mantan Kepala Desa Ululere, Abdul Aziz, yang menjabat sejak tahun 2006 hingga 2012. Ia menegaskan bahwa selama masa jabatannya tidak pernah ada kelompok masyarakat yang mengklaim kepemilikan adat atas lahan di desa tersebut.
“Saya beberapa kali mengikuti pertemuan terkait batas wilayah antara Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan, baik di Sorowako maupun Palu. Namun, klaim tanah ulayat ini baru saya dengar sekarang,” kata Abdul Aziz. “Sepengetahuan saya, tidak ada seorang pun atau kelompok mana pun yang mengklaim bahwa di lokasi tersebut ada tanah ulayat,” tambahnya.
Sikap Pemerintah Desa dan Masyarakat
Menanggapi isu yang berkembang, pemerintah Desa Ululere menegaskan bahwa klaim tersebut perlu dikaji lebih lanjut oleh pihak berwenang. Arman menilai bahwa tanpa keterlibatan penuh dari pemerintah daerah, permasalahan ini berpotensi menimbulkan konflik horizontal antara masyarakat Desa Ululere dan kelompok Pong Salamba.
“Ini bukan hanya tentang desa kami, tapi juga menyangkut wilayah Kabupaten Morowali secara keseluruhan. Pemerintah daerah harus hadir agar tidak terjadi konflik,” ujar Arman.
Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Ululere, Abd Halik juga mendukung pernyataan tersebut. Dirinya menyatakan bahwa selama masa eksplorasi PT Vale pada 2006-2008, tidak ditemukan adanya klaim tanah ulayat di area yang kini dipermasalahkan. “Saya pernah terlibat dalam eksplorasi PT Vale di area tersebut pada 2006-2008, dan saat itu tidak pernah ada klaim tanah ulayat. Kenapa klaim ini baru mencuat sekarang? Kenapa tidak dari dulu?” ujar perwakilan BPD.
Dugaan Pungutan Liar
Pada 17 Februari 2025, pemerintah desa mengunjungi lokasi yang diklaim sebagai tanah ulayat dan menemukan indikasi adanya praktik pungutan liar. Kepala Desa Arman menegaskan bahwa pihaknya tidak menginginkan adanya pungutan tanpa dasar hukum di wilayah administratif Desa Ululere. “Kami telah melakukan pertemuan sebelumnya di rumah jabatan bersama OPD terkait dan tegas menyampaikan bahwa pungutan liar yang terjadi saat ini sangat meresahkan warga kami, dan sangat berpotensi meimbulkan konflik horizontal dan jelas kami sangat tidak menginginkan adanya pungutan liar di wilayah kami tanpa dasar hukum di wilayah ini,” jelasnya.
Untuk itu, Pemerintah Desa Ululere menyerahkan penyelesaian masalah ini kepada pemerintah daerah, mengingat persoalan ini melibatkan wilayah administratif yang lebih luas. Di sisi lain, izin usaha di wilayah tersebut telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat kepada perusahaan tambang yang beroperasi secara legal.
“Perusahaan yang memiliki izin di lahan ini telah mendapatkan ketetapan dari pemerintah pusat. Sebagai bagian dari sistem pemerintahan, kami di tingkat desa juga harus mengikuti kebijakan yang telah ditetapkan,” ujar Arman.
Hingga saat ini, pemerintah daerah Morowali belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait klaim tanah ulayat ini. Namun, masyarakat setempat berharap agar isu ini dapat diselesaikan secara jelas agar tidak menimbulkan konflik berkepanjangan.
Sementara itu, PT Vale Indonesia Tbk sebagai pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) di wilayah tersebut memiliki dasar hukum yang kuat dalam menjalankan operasionalnya. Perusahaan telah memenuhi semua persyaratan perizinan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan menjalankan kegiatan tambang sesuai regulasi yang berlaku. Dengan status ini, setiap aktivitas yang dilakukan di dalam area konsesi telah mendapat legitimasi dari negara, sehingga tuduhan penyerobotan lahan perlu dikaji lebih dalam berdasarkan fakta hukum yang ada. (*)