Pernikahan Dini Tantangan Emas Indonesia

Oleh : Dahlan Abu Bakar ( Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Sulsel )

Indonesia Emas 2045 yang selalu didengung-dengungkan oleh Presiden
Joko Widodo merupakan sebuah impian besar tentang Indonesia yang unggul, maju bersaing dengan bangsa-bangsa lain, dan telah cukup dewasa untuk mengatasi isu-isu persoalan klasik bangsa, seperti korupsi, isu disintegrasi, dan kemiskikan. Guna mewujudkan impian tersebut, kunci utamanya bukan kekuatan ekonomi, politik, atau militer, melainkan sumber daya manusianya.

Berbicara mengenai manusianya, pada tahun 2030 Indonesia akan memasuki era Bonus Demografi (BD), suatu saat jumlah penduduk Indonesia usia produktif jauh lebih besar (70%) dibandingkan tidak produktif. Usia produktif berkisar antara 15 s.d. 64 tahun (bekerja atau tidak), sedangkan usia tidak produktif pada kisaran usia 15 tahun ke bawah dan 65 tahun ke atas. Untuk usia 65 tahun ke atas mungkin sebagian asumsi tidak produktif tersebut kurang terlalu tepat karena banyak sumber daya manusia yang sudah purnabakti masih produktif.Maksudnya, mereka masih dapat menyumbangkan tenaga dan pengetahuan pada bidang yang menjadi keahliannya atau pun berkiprah pada bidang politik bermodalkan popularitasnya selagi aktif.

Harian Kompas (22/12/2018) menurunkan satu tulisan yang menarik berjudul “Mengakhiri Pernikahan Anak” yang ditulis oleh Retno Listyarti,
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Bidang Pendidikan. Salah satu yang dibahas Listyarti adalah berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pasal 7 (1) UU No.1 tentang Perkawinan/Tahun 1974. Dalam putusannya pada pasal dan ayat tersebut, MK menganggap bahwa pasal ini diskriminatif dan bertentangan dengan UUD 1945. Oleh sebab itu, MK memandang perlu adanya perubahan UU ini dalam jangka tiga tahun. Pasal 7 (1) tersebut yang berbunyi “ Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun” dianggap tidak sejalan Program Kependudukan Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) yang dilaksanakan pemerintah melalui Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang mematok batas usia pernikahan yang ideal pada usia matang 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki.

Kalau kita lihat dengan batas usia ini, bagi perempuan sudah memasuki
perguruan tinggi dan sang pria sudah menamatkan pendidikan tinggi, meskipun mungkin belum bekerja. Ketika pasangan ini kemudian melahirkan anak satu tahun kemudian, salah seorang atau pasangan ini belum bekerja, maka di sinilah kendala ekonomisnya.

Pernikahan Dini Usia 25 tahun dan 21 tahun bagi pria-wanita disarankan boleh menikah itu adalah batas bawah dari pesan yang disampaikan pemerintah melalui BKKBN dengan Program KKBPK. Sebenarnya yang ditekankan di sini adalah bagaimana satu pasangan dapat merencanakan berkeluarga dan memiliki jumlah anak yang mampu mereka bahagiakan kelak.

Di dalam tulisan Retno Listyarti itu saya tertarik dengan masalah pernikahan anak. Dia mengatakan bahwa pernikahan anak akan berdampak pada berhentinya seorang anak melanjutkan pendidikan dan merajut masa depannya. Tidak hanya itu, jika kemudian anak tersebut pada usia muda melahirkan, maka banyak kemungkinan yang terjadi. Salah satunya adalah organ-organ tubuhnya terlalu muda untuk memikul beban yang seharusnya ditanggung oleh perempuan dewasa atau sudah matang menikah. Dalam kondisi terburuk, berisiko bagi kematian sang ibu saat melahirkan.

Belum lagi dia belum memiliki pengetahuan bagaimana mendidik anak.
Kasus pernikahan dini beberapa waktu lalu banyak diberitakan media di
Sulawesi Selatan. Biro Pusat Statistik mencatat pada tahun 2016 mencatat
340.000 perempuan yang menikah di bawah usia 16 tahun. Jumlah itu 46% dari total jumlah perkawinan di Indonesia. Angka itu menunjukkan perkawinan usia anak perempuan tertinggi 17 tahun. Analisis itu, tulis Retno Listyarti, menunjukkan bahwa satu dari empat anak perempuan Indonesia menikah di bawah usia 18 tahun.

Ketua Perlindungan Anak PBB (Unicef), Aguilar, seperti yang dirilis Daily
Mirror (6/3/2018) yang dikutip kompas.com yang diunggah 24 Desember 2018 menyebutkan, dalam 10 tahun terakhir ini menyebutkan, total terjadi penurunan angka perkawinan anak sebesar 25 juta orang. Reduksi terbesar terjadi Asia Selatan, terutama di India yang dilaporkan menjadi negara dengan angka perkawinan terbesar di kawasan tersebut. India, ujar Aguilar dalam pernyataan resmi, menyumbang sekitar 20% total penduduk muda dunia. Dalam perkembangan saat ini, 27% perempuan India, sekitar 1,5 juta orang, memutuskan menikah sebelum mereka berusia 18 tahun.

“Jumlah ini mengalami penurunan hingga setengahnya dibandingkan
satu dekade lalu, 47%,” ucap Aguilar. Penurunan itu terjadi setelah India menerbitkan sejumlah peraturan untuk menurunkan guna mencegah angka perkawinan di bawah umur. Di antaranya, batas usia mininmal seseorang boleh menikah adalah 18 tahun untuk perempuan, dan 21 tahun bagi laki-laki. Pada 2017, Mahkamah Agung India menerbitkan dekrit yang menyatakan perkawinan di bawah umur merupakan tindak pemerkosaan. Orangtua yang terbukti menikahkan anaknya yang masih di bawah umur bakal dijatuhi sanksi penjara dua tahun, dan denda 100.000 rupee,
sekitar Rp 21,1 juta.

Penurunan angka perkawinan dini di seluruh dunia mendapat apresiasi
dari Penasihat Utama Bidang Gender Unicef, Anju Malhotra. Dia berpendapat, pernikahan dini berisiko di sektor kesehatan, pendidikan, kemiskinan antargenerai, maupun kans terjadinya kekerasan. Meski begitu, dia masih mengingatkan kalau tugas Unicef maupun organisasi perlindungan perempuan dan anak belum selesai.

Unicef mengestimasi setiap tahun, 12 juta perempuan memutuskan
menikah dini di seluruh dunia. Targetnya, merujuk kepada Badan Sasaran
Pembangunan Berkelanjutan PBB, dunia bebas praktik pernikahan di bawah umur pada 2030 mendatang.

“Perjalanan kami masih panjang. Dibutuhkan peran aktif dari setiap
organisasi untuk menekankan bahaya perkawinan di bawah umur,” kata
Malhotra

Bagaimana nasib program Indonesia emas dengan fenomena pernikahan dini seperti ini. Pemerintah melalui Departemen Kesehatan dan bekerja sama dengan perguruan tinggi meluncurkan program 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) guna menciptakan penduduk yang sehat menjelang usia balita. BKKBN pun memprogram KKBPK memandu berbagai program kependudukan dan pembangunan keluarga untuk mencapai keluarga bahagia, sejahtera, dan berkualitas.

Kalau pernikahan dini kian marak maka, Bonus Demografi yang kita
harapkan membawa berkah akan berubah mengusung musibah. BD jadi
musibah karena sumber daya manusia usia produktif tidak bekerja alias
menganggur jauh lebih banyak. Tanda-tandanya sekarang sudah mulai tampak. Para pelaku tindak kriminal, begal, narkoba, kejahatan lain, rata-rata anak-anak usia produktif, yang tidak memiliki keperjaan tetap. Dia kemudian menjadi penyakit sosial.

Pelajar dan mahasiswa yang kini belajar di kelas-kelas jika tidak terjebak
pada perkawinan dini, 30-40 tahun mendatang akan menjadi pemimpin-
pemimpin yang menjalankan beragam sektor negara, oleh sebab itu untuk
mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 tentu dengan menjalankan pendidikan emas sejak tahun 2005. Oleh sebab itu, mereka harus dpersiapkan sejak dini.

Kesehatan dan pendidikan menjadi kunci keberhasilan pencapaian visi
tersebut. Kini di bidang pendidikan masih banyak menemui masalah. Mulai dari isu harga pendidikan, ketimpangan pembangunan fasilitas manajemen ujian nasional, jumlah jam belajar (full day school), hingga pembaruan kurikulum dan guru. Belum lagi perilaku anak didik, di sekolah menengah atas dan perguruan tinggi di Makassar contohnya, sebagian besar menjadi label mahasiswa sekadar untuk tidak dikatakan tidak kuliah. Atau mentereng disebut kuliah di perguruan tinggi negeri ini dan swasta terakreditasi itu.

Fenomena pembelajar tersebut akan ikut berkolaborasi dengan banyaknya masalah pendidikan yang dihadapi itu yang seakan membuat kita pesimis. Luaran pendidikan tinggi hanya akan melahirkan sebagian besar penganggur intelek. Apakah pendidikan yang seperti ini yang akan mencetak generasi emas Indonesia 2045? Sebab jika tetap demikian, maka Indonesia 2045 tidak lebih dari sebuah utopia. (*).