Laporan : Mda / TO
MAKASSAR,Timuronline – Semakin banyaknya barang impor masuk ke Indonesia telah berdampak terhadap terjadinya kompetisi tidak sehat di sektor industri. Salah satu contohnya, ada produk impor yang tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) yang menjadi rujukan baku bagi setiap produk nasional.
Managing Director PT Sermani Steel Rudy S.Syamsuddin dalam perbincangan dengan timuronline di Makassar, Kamis (31/05/18) mengatakan, masuknya produk impor yang tidak memenuhi standar, juga menawarkan harga murah. Akibatnya, produk dalam negeri yang selama ini tetap ‘patuh’ pada standar kerap mengalami masalah.
” Banyak barang masuk (impor) yang tidak terawasi yang harganya murah karena tidak mengikuti standar,’’ ujar Rudy S.Syamsuddin.
Pria 55 tahun itu menegaskan, jika standar produk besi baja dengan ketebalan 0,2 mm dan tiba-tiba ada produk impor yang memiliki ketebalan hanyak 0,17-0,18 mm sudah memiliki penyimpangan. Produk seperti ini tidak saja berpengaruh pada persaingan harga, tetapi juga pada masalah kualitas yang berpotensi pada kemampuan daya tahan produk tersebut.
Dia menekankan perlu adanya informasi dan edukasi kepada masyarakat sebagai konsumen akan pentingnya pemanfaatan produk yang standar. Kepada pihak pemerintah pun diharapkan agar lebih meningkatkan pengawasan terhadap masuknya produk impor di pasar domestik.
Menjawab pertanyaan, Rudy mengatakan, masuknya produk impor nonsatandar dengan harga murah tersebut jelas mematikan produk domestik. Akibatnya, banyak industri kita gulung tikar. Dia memberikan contoh, sejumlah industri di Kawasan Industri Makassar (KIMA) ada beberapa yang tidak beroperasi. Industri-industri kita
tidak lagi inovatif dan menghasilkan produksi yang lebih baik. Bahkan ada industri yang tidak berproduksi tinggal stempel nama pada produk pabrik lain.
Tidak adanya industri baru di Sulawesi Selatan karena tidak bisa berkembang dan kalah bersaing dengan produk impor yang terus membanjiri Indonesia dengan harga murah. Rudy menyebutkan, sulitnya industri di Sulawesi Selatan antara lain, “Serangan” industri dari Pulau Jawa, keterbatasan infrastruktur, masalah transportasi, dan sumber daya manusia. Industri yang ada pun sulit mencapai produk yang ‘’high quality’’. Ini salah satu penyebab industri di Sulawesi Selatan tidak berani melakukan ekspansi, karena biayanya tinggi.
Padahal, menurut Rudy, dengan produk yang memenuhi standar kualitas tinggi dapat diekspor ke negara lain. Contohnya, produksi beras kita yang berlimpah dapat diekspor ke Singapura, tetapi harus memenuhi standar mutu yang ditetapkan negara tujuan. (Redaksi).