Laporan : Mda / TO
MAKASSAR,Timuronline – Masalah gender atau kesetaraan yang dituntut kaum perempuan harus ditempatkan pada posisinya. Masalah inferior (rasa rendah) adalah apa yang tampak dalam realitas.
” Masalah biologis adalah kodrat dan gender merupakan martabat konstruksi sosial yang dibentuk oleh masyarakat dan tersosialisasi,” kata Sugihartuti, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam Seminar Nasional Linguistik (Semiotik) dan Perempuan di Fakultas Ilmu Budaya Unhas Makassar, Rabu (09/05/18) lalu.
Ia memberikan contoh, jika ada anak perempuan lahir masyarakat akan melabelinya dengan warna merah. Jika seorang bayi laki-laki lahir masyarakat melabeli dengan warna biru (muda). Jika ada bayi yang menangis, maka suaranya dapat dibedakan antara anak perempuan dan laki-laki. Secara biologis ini sudah merupakan kodrat dan
tidak bisa diubah. Jika kemudian ada perubahan selanjutnya justru lahir dalam kehidupan.
” Jadi, kita dapat membaca bahasa dan ditempatkan gendernya dan tidak ada kesetaraan,” ujar perempuan yang sudah menulis 60 judul buku tersebut.
Sugihartuti juga mengatakan, di kalangan keluarga terkadang keinginan mempunyai anak perempuan misalnya, terinferiorkan oleh budaya. Dalam masyarakat patrialhat (yang menganut keturunan dari pihak laki-laki) perempuan itu ditempatkan sebagai pihak yang lemah, ke bawah laki-laki tetap ke atas. Masyarakat yang secara ekslusif yang menggenderkan perempuan. Bahwa laki-laki dan perempuan belajar berbeda dan gender lahir dan dibentuk serta dikembangkan oleh masyarakat.
Dalam kehidupan sehari-hari, lanjutnya, bagi seorang ayah jelas akan berbeda bahasanya ketika berbicara terhadap anak laki-laki dan anak perempuan. Begitu pun jika anak laki-laki yang berbuat salah akan berbeda pula jika anak perempuan yang berbuat salah. Dalam banyak hal, laki-laki dan perempuan belajar berbeda, baik pikiran, perasaan, bahasa, dan cara berpakaian.
” Nama laki-laki bisa berterima jika dipakai oleh perempuan, tetapi tidak ada laki-laki yang bernama perempuan,” kunci putri Solo kelahiran 2 Januari 1959 dalam seminar sehari tersebut.
Dekan FIB Unhas Prof.Dr.Akin Duli, ketika membuka “Semiotik” tersebut, kegiatan ini sangat penting dalam pengembangan wawasan ilmu pengetahuan, di samping sebagai ajang silaturahim.
” Kita tidak boleh larut dalam konstruksi budaya yang inferior. Kita harus ikut memecahkan bagaimana dalam konstruksi budaya itu dapat kita seimbangkan peran laki-laki dan perempuan,” ujar Akin Duli, pada kegiatan yang juga dihadiri Wakil Dekan I FIB Unhas Dr.Fathurahman dan diikuti sekitar 150 mahasiswa itu.
Ketua Panitia Semiotik Dr.Hj.Nurhayati melaporkan, kegiatan ini dimaksudkan membahas masalah-masalah tentang kebahasaan, bahasa, dan perempuan, baik dalam bidang linguistik murni maupun terapan.
” Dalam semiotik ini dibahas 22 makalah yang terdiri atas 18 makalah dari Unhas, 2 makalah dari UIN, dan dua makalah tamu dari UGM dan Dr.Djennie Imbang, dari Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado,” ujar Nurhayati sambil menambahkan bahwa kegiatan seperti ini kedua kali dilaksanakan. (Redaksi)