Obotuari Burhanuddin Amin, Tinggalkan Jaksa Pilih Jurnalis

Oleh : Dahlan Abubakar

Bakda siang Senin (20/7/2020), saya memperoleh berita duka melalui jejaring media sosial yang mengabarkan wartawan senior Sulsel Burhanuddin Amin berpulang ke rakhmatullah di kediamannya di Jl. Tidung 7 Nomor 14 Perumnas Panakkukang, Makssar. Almarhum meninggal dunia dalam usia 74 tahun 14 hari karena menderita penyakit yang sudah lama diidapnya.

Pak Bur, demikian para juniornya menyapa Pemimpin Umum/Redaksi Grup Indonesia Pos ini, beberapa tahun terakhir ini sering keluar masuk rumah sakit karena penyakit yang dideritanya. Setelah sembuh, almarhum masih tetap berusaha menghadiri pertemuan yang dilaksanakan anggota redaksi Indonesia Pos dan Yayasan Lembaga Pers Sulawesi Selatan, organisasi nirlaba yang menempatkan dirinya sebagai salah seorang pendiri yayasan bersama beberapa orang lainnya dan ditempatkan sebagai salah seorang penasihat.

Pertemuan terakhir saya dengan Pak Bur terjadi di Kafe Baca sebelum wabah Covid-19 merebak. Agenda rapat waktu itu yang juga dihadiri oleh Gun Sumedi, membahas tentang alih kepemimpinan manajemen Indonesia Pos kepada beberapa orang sahabatnya. Pertemuan ini rupanya digagas almarhum sebagai tindakan berjaga-jaga jika dirinya sudah tiada. Dan ternyata firasatnya itu benar, dengan kondisi kesehatan yang terus menurun, Pak Bur dipanggil oleh Allah swt, 20 Juli 2020.

Dilahirkan di Soppeng, 6 Juni 1946 dari pasangan Muhammad Amin dengan Hajjah Mamara, Burhanuddin kecil hanya punya cita-cita sederhana. Ingin jabatan yang sedikit lebih tinggi dari ayahnya yang polisi. Waktu itu, Kepolisian di bawah Kejaksaan. Kira-kira posisi yang dimaksud adalah menjadi jaksa. Profesi wartawan tidak pernah melintas dalam benaknya sebagai pilihan hidupnya kelak.

Bur, demikian ayah dari 12 anak berikut 6 cucu ini akrab disapa, menjalani pendidikan SD Lariang Bangngi Makassar. Dulu sekolahnya di G.Latimojong, di belakang kantor Telkom, kini sudah tidak ada. Dia tak ingat lagi tahun berapa tamat. Hanya yang diingat, setamat SMP Negeri di Sengkang, anak pensiunan polisi ini (ayahnya meninggal tahun 1989), melanjutkan pendidikan ke Sekolah Hakim Djaksa (SHD) Jurusan Jaksa di Makassar.

SHD dulu berlokasi tepatnya di Jl. Amana Gappa sekarang. Yang memimpin sekolah ini adalah Djawariah Amiruddin. Lokasi SHD itu, kini sudah ditempati SMA Negeri 16 Makassar setelah terlebih dahulu pernah dimanfaatkan sebagai Sekolah Pendidikan Guru Negeri (SPGN) II.
Ketika dinyatakan lulus tahun 1965/1966, Bur dinyatakan masuk 10 peserta yang lulus dengan predikat terbaik seluruh Indonesia. Sayang, SHD, almamaternya, ditutup tahun 1970.

Sambil menunggu surat keputusan (SK) pengangkatan sebagai Jaksa, Bur iseng-iseng melamar di Harian “Tanah Air”. Yang memimpin media ini saat itu adalah Abdulrazak Mattaliu (alm.) yang juga se-tempat kelahiran dengan Bur. Dia diterima pada satu-satunya lowongan yang tersedia, yakni sebagai tenaga korektor. Mau menjadi wartawan, pengalaman jurnalistik masih nol besar.

’’Jadi, saya memulai karier jurnalistik sebagai korektor,’’ kenang Burhanuddin Amin ketika saya wawancarai di Jl. Bau Mangga I Nomor 4 Makassar, 14 Februari 2009. Ternyata, Bur keasyikan menjadi wartawan, meninggalkan jabatan sebagai jaksa yang sudah tinggal menunggu waktu.
Suatu saat, Pemimpin Umum “Tanah Air”, Idrus Effendy (alm.), hadir pada satu acara di Balai Kota Makassar (Jl.Balai Kota sekarang). Idrus Effendy melihat tidak seorang pun wartawan dari medianya meliput acara tersebut. Tidak ada akar, rotan pun jadi. Bur yang tugasnya sebagai tenaga korektor akhirnya digaet dan ditugaskan meliput.

’’You wakili harian ‘Tanah Air’ dalam jumpa pers di balai kota,’’ pinta Idrus Effendy seperti dikisahkan Bur.
Bermodalkan pengalaman sebagai korektor dan menyimak cara wartawan membuat berita yang selalu dikoreksinya, Bur pun mencoba membuat berita hasil liputannya.

’’Ah, kau cocok menjadi reporter kota,’’ kata Idrus Effendy begitu melihat berita yang disusun Bur.
Bur pun menempati posisi barunya, sebagai reporter kota. Ketika itu, wartawan masih kurang. Suatu ketika, antara tahun 1965-1966, Gubernur Sulawesi Selatan A.Rivai memerlukan tenaga wartawan yang akan menyertainya ke daerah. Bur yang semestinya meliput masalah kota, tak luput dari penugasan. Mengikuti kunjungan kerja Gubernur. Sekembali dari meliput kunjungan tersebut, seperti biasa, para wartawan menurunkan reportasenya. Akhirnya, lagi-lagi Bur ditarik menjadi wartawan

Razak Mattaliu kemudian menerbitkan satu majalah, “Manipol” namanya. Mengetahui Bur memiliki kemampuan jurnalistik yang memadai, Razak Mattaliu menggaet dia sebagai redaktur pelaksana. Rupanya Razak tertarik dengan reportase kunjungan gubernur yang ditulis Bur.
Ketika terlibat sebagai redaktur pelaksana Manipol, Bur mulai berkenalan dengan Rahman Arge, yang juga Pemimpin Redaksi majalah tersebut. Kantor redaksi majalah ini di Jl.Jenderal A.Yani, Bakti Baru dulu. Di situ pula Bur mengenal seorang Arsal Alhabsy dan Harun Rasyid Djibe (memimpin Mingguan Ekspres). Jadi, banyak media berkantor di sini.

Ketika PWI Pusat menggelar ‘upgrading’ (peningkatan) wartawan tingkat nasional. Bus ditunjuk mewakili ‘Manipol’. Ia bergabung dengan 13 orang peserta lainnya dari Sulawesi Selatan. Di antara wartawan yang ikut dalam ‘upgrading’ yang dibuka Bung Karno tahun 1966 di Istana Bogor itu, antara lain Rahman Arge, Razak Mattaliu, Rusdi Abdullah, Dien Monoarfa, dan lain sebagainya. Mereka inilah yang kebetulan lulus, termasuk Bur. Ada juga yang tidak lulus.

Setelah pelatihan peningkatan wartawan tersebut, situasi politik di tanah air pun berubah. Media massa juga mengalami perubahan. Harian “Tanah Air” kemudian bersalin nama menjadi Harian “Mercu Suar”. Harian yang disebut terakhir ini lebih condong atau berorientasi ke Gerakan Muhammadiyah. Bur pun diangkat sebagai redaktur daerah (1966 – 1969). Pada 6 Juli 1969, beberapa kawan Bur mengajak dia menerbitkan sendiri “Indonesia Pos” (Inpos) bersama Mustafa Djalle, Andi Moein MG, dan Chaeruddin Iqbal.

Berita-berita yang disajikan “Indonesia Pos” ini sering menggelitik pembaca, khususnya para penguasa. Apalagi, ketika itu para wartawan, khususnya Bur, rata-rata masih muda. Masih ada semangat idealisme yang menggelora. Apa yang terjadi, pada tahun 1974, “Mercu Suar” dibreidel. Pada tahun-tahun itu merupakan “musim” pemerintah Soeharto main bredel media cetak. Alasannya, dituduh memberitakan kasus Malapetaka 15 Januari (Malari) di Jakarta.

Untuk perkara lokal, ‘Mercu Suar’ ditengarai terlibat dalam gerakan Angkatan Muda Sulawesi (AMS). Buntut dari pembreidelan suratkabar tersebut, giliran Bur pun ditahan, 22 Februari 1974. Pasal penahanannya, dikenakan UU Subversif. Salah satu pasal UU tersebut, masa tahanannya satu tahun. Bur pun mulai menghitung hari. Pas satu tahun kelak dia dikeluarkan.

Bur pernah menjadi pengurus PWI dan juga pernah menjadi calon ketua PWI Sulsel namun dicurangi. Sebelum menerbitkan “Indonesia Pos”, Bur pernah ditarik ke Jakarta sebagai wartawan Harian Pelita. Tak betah di ibu kota, dia memilih dipulangkan ke Makassar dan menjadi wartawan harian yang didukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu di Sulawesi Selatan.

Almarhum memiliki idelisme sebagai wartawan yang tidak pernah kendur dan lentur. Beberapa ketimpangan yang terjadi di tubuh organisasi dikoreksinya hingga berujung sampai ke pengadilan. Kini, wartawan idealis yang kritis itu telah pergi. Selamat jalan senior dan bertemu kekasih, istrimu, yang telah mendahului beberapa tahun silam dan kini disemayamkan di Sungguminasa. Gowa, tempat engkau juga akan bergabung, Selasa 21 Juli 2020. (M.Dahlan Abubakar).