- Refleksi Hari Kontrasepsi se-Dunia
Oleh M.Dahlan Abubakar
Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana Sulsel
Setahun setelah menikah selagi mahasiswa pada tahun 1977, sebagai wartawan saya mengikuti lokakarya tentang Keluarga Berencana (KB) di Hotel Marjan Jl. Masjid Raya (di depan Kampus Unhas Baraya). Lokakarya itu diselenggarakan oleh Kantor Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional – kini Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Sulawesi Selatan.
Kepala BKKBN Sulsel waktu itu, Drs.H.Abd. Hakim, seorang pria yang meskipun dengan usia di atas kepala 6, masih mampu berkeliling ke sejumlah daerah di Sulawesi Selatan. Mengendarai mobil Toyota kanvas DD 9 H warna hijau,
saya – beberapa tahun kemudian — menjadi satu-satunya wartawan yang selalu diajak berkeliling hingga ke Mangkutana melintasi Tana Toraja, maupun ke Polewali Mamasa.
Bermodalkan pengetahuan ber-KB melalui lokakarya tersebut plus istri yang pegawai negeri sipil (PNS) di Departemen (Kementerian) Kesehatan, dua tahun setelah menikah dan memiliki dua anak — laki dan perempuan –, saya meminta ‘’mantan pacar’’ menjadi akseptor KB. Saya pikir, jika tidak ber-KB, boleh jadi saban tahun istri akan melahirkan. Sebab, anak pertama pria lahir 20 Mei 1978 dan momongan kedua perempuan lahir 28 September 1979. Bayangkan saja, jika tidak dikendalikan, boleh jadi selama 20 tahun istri saya akan menghadirkan
tiga tim bola voli. Wow. Alat kontrasepsi (alkon) yang dipilih adalah intrauriner device (IUD)
atau alat kontrasepsi dalam rahim. Saya meminta istri memilih alkon ini karena dianggap aman dan tidak berisiko.
Biar pun saya tetap melaksanakan tugas sebagai seorang suami, ‘’situasi’’ akan aman dan terkendali terhadap kemungkinan hadirnya anak ketiga dan seterusnya. Setelah 40 hari melahirkan anak kedua, istri akhirnya resmi menjadi akseptor KB yang alkonnya dipasang di RSU Dadi Ujungpandang (Makassar), tempat dia bekerja. Hingga kini alkon itu berusia 39 tahun.
Saya tidak pernah bertanya kepada istri, apakah ‘’barang’’ itu masih ada. Selama 40 tahun terakhir, Program Kependudukan Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) secara signifikan telah mampu menurunkan angka kelahiran rata-rata 5,6 anak per wanita usia subur pada tahun 1960-an menjadi 2,6 pada tahun 2012.
Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kependudukan Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka kelahiran total (total fertility rate –TFR) secara nasional cenderung menurun dari 2,6 menjadi 2,4 anak per perempuan usia reproduksi. Angka ini belum sepenuhnya mencapai sasaran pembangunan bidang kependudukan dan KB yang 2,33 sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, tetapi menunjukkan capaian
yang lebih baik dari tahun sebelumnya. Angka penggunaan kontrasepsi pun mengalami peningkatan dari 61,9% (SDKI 2012) menjadi 63,6% sesuai laporan pendahuluan SDKI 2017.
Sementara peserta KB aktif per April 2018 meningkat sebanyak 607.252 dibandingkan peserta aktif pada periode yang sama tahun 2017. Yang juga perlu mendapat perhatian, jumlah pasangan usia subur (PUS) yang tidak ber-KB cenderung meningkat 12.291.530 per April 2017 menjadi 13.268.760 per April 2018. Tentu saja keberhasilan pencapaian program KKBPK sangat ditentukan oleh partisipasi masyarakat.
Selain kesadaran sendiri dan seorang pekerja, istri menjadi akseptor KB karena membayangkan kemungkinan sulitnya mendidik anak lantaran kami bekerja. Ketika usia 1 sampai 2 tahun dengan dua anak, pengasuhan masih dipercayakan kepada neneknya. Ketika neneknya berpulang ke rakhmatullah tahun 1983, saat anak laki-laki berusia 5
tahun dan perempuan 4 tahun, kami mulai merasakan kesulitan memelihara dua momongan itu. Solusi sementara, karena keduanya belajar di Taman Kanak-Kanak di dekat rumah kakak istri, jadilah kediamannya sebagai ‘’rumah tunggu’’. Kondisi ini berlangsung hingga keduanya tamat SMP karena ketika dijenjang SMA kami sudah pindah ke
timur kota dan anak-anak sudah mulai dapat mengurusi dirinya sendiri.
Setelah kedua anak kami menikah, ternyata mereka juga mengikuti jejak orangtuanya. Juga menjadi akseptor KB. Yang pria memiliki dua anak, laki dan perempuan, sementara yang perempuan juga memiliki dua anak, meskipun semua perempuan. Anak pria yang beberapa tahun silam berpisah dengan istrinya, akhirnya memutuskan menikah lagi September 2017. Kini (per 14 Juli 2018) dia memiliki dua anak laki-laki, istrinya
melahirkan kembar.
Ketika pada tahun 1989 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat bekerja sama dengan BKKBN Pusat menyelenggarakan Lomba Karya Tulis KB Lingkaran Biru, saya pun iseng-iseng ikut mengirim tulisan ke panitia. Saya sudah lupa judul tulisan itu, tetapi isinya menceritakan bagaimana saya mendorong istri saya memasang alkon, setelah sebelumnya mengungkapkan proses merencanakan keluarga berencana. Tulisan saya ini ternyata mampu ‘membius’ para juri hingga meraih juara I dan hadiahnya diserahkan bertepatan dengan Hari Pers Nasional (HPN)
di Ujungpandang tahun 1990.
Saya masih ingat ketika itu menulis bahwa kami tidak saja merencanakan jumlah dua anak cukup, tetapi juga “mengatur’’ jenis kelamin anak kami. Ketika anak pertama laki-laki lahir, maka “rumus” yang diterapkan memperoleh anak tersebut dibalik (diubah) untuk memperoleh anak perempuan. Ternyata resep yang kami gunakan itu mujarab. Saya membagi resep ini kepada sedikitnya 5 atau 6 orang teman pria yang akan menikah dengan obsesi ingin memiliki anak pertama laki-laki.
Ketika usai mengikuti Lokakarya Wartawan Kebudayaan yang menghadirkan pembicara Rosihan Anwar (alm.) di Hotel Raodah Jl.Chairil Anwar, seorang wartawati Surabaya Pos yang juga salah seorang peserta mengungkapkan rencana pernikahannya kepada saya sambil mengatakan.
‘’Lan, saya menikah tahun depan, apa kadonya?,’’ katanya bernada kelakar.
‘’Apa ya, tapi jika Anda mau saya ingin memberi sesuatu,’’ jawab saya yang tentu saja membuatnya penasaran.
‘’Apa itu?,’’ dia juga penasaran dan balik bertanya.
‘’Saya ingin bertanya, jika menikah, Anda ingin anak laki-laki atau perempuan,’’ kata saya.
‘’Saya ingin anak perempuan!,’’ jawabnya yang membuat saya jadi sedikit kurang percaya diri. Pasalnya, resep yang saya gunakan ketika menginginkan anak perempuan belum diujicobakan oleh pria lain pada istrinya. Rata-rata mereka meminta anak laki-laki.
‘’Tetapi resep saya ini baru dipraktikkan sendiri, belum oleh orang lain. Namun demikian, Insha Allah, dicoba saja,’’ ujar saya sembari menjelaskan resep tersebut.
Komunikasi kami tidak pernah tersambung pasca teman itu menikah. Nanti ketika saya ke Surabaya, dia mengajak menginap di rumahnya. Saat datang ke hotel menjemput, pertanyaan saya yang pertama adalah perihal hasil resep yang diberikan tiga tahun sebelumnya.
“Bagaimana you punya anak pertama, laki atau perempuan?’’.
‘’Ya, sesuai dengan yang saya sampaikan kepada Anda dulu kan?. Perempuan!,’’ sahutnya.
‘’Syukur dan mujur, saya tidak dianggap sebagai dukun palsu,’’ ujar saya sembari terkekeh. (*).