Menyoal Partisipasi dan Kerja Kolektif di Desa (Part 3)

Oleh : Arsal Amiruddin

Bila kita bicara tentang kanal aspirasi, adakalanya tak hanya birokrasi desa yang mengalami kemungkinan kendala dan kemacetan. Nyatanya, birokrasi di tingkat kabupaten hingga pusat juga masih biasa bersoal dalam penjaringan aspirasi dan bagaimana menempatkan serta berhati-hati membuka kran-kran partisipasi bagi warga.

Beberapa waktu kemarin misalnya, pemerintah kabupaten (pemkab) telah mulai mencoba menerapkan berjalannya aplikasi e-Planning. Aplikasi itu semacam digitalisasi seluruh hasil musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) mulai dari desa hingga kabupaten.

Bila di tahun-tahun sebelumnya, seluruh rekap usulan dibawa secara manual dari desa ke kecamatan, dan dari kecamatan ke kabupaten, aplikasi ini mulai mencoba mengikuti perkembangan zaman dan tekhnologi.
 
Desa-desa dan kecamatan hanya perlu menginput program kegiatan mereka ke dalam aplikasi, dan aplikasi berbasis web itu akan melakukan rekapitulasi seluruh kegiatan secara otomatis dari seluruh desa dan kecamatan.

Tadinya saya berharap program ini akan dapat menjaring aspirasi dengan lebih baik, malah akan memangkas program-program siluman yang seringkali dikeluhkan desa-desa. Bagaimana tidak, setiap kali diselenggarakannya musyawarah tingkat desa juga kecamatan, selalu ada selentingan tentang hasil-hasil musrenbang yang membawa kesan “jauh panggang dari api”.

Desa mengusulkan kegiatan tertentu, dan kegiatan tertentu lainnya segera turun ke desa. Desa memasukkan usulan pembangunan jalan, kabupaten merumuskan pembangunan jembatan. Desa menginginkan bantuan traktor untuk kelompok tani, kabupaten mengasistensi bantuan usaha ekonomi mikro.
 
Sorotan paling sering saya dengarkan di kecamatan Towuti, pokok-pokok pikiran anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dipandang menjadi salah satu penyebab dari serasa mandulnya prosesi musrenbang yang diselenggarakan setiap tahun dalam menjaring aspirasi.

Pasalnya karena seluruh usulan program, bagaimanapun, akan berakhir dalam arena politik, dan dalam arena politik itu, saling kukuh kepentingan politik bisa saja beradu hanya untuk berebut kue paling banyak.
 
Suatu hari saya sempat melanjutkan keluhan ini ke seorang kenalan di DPRD, terutama tentang hasil reses perseorangan anggota dewan yang seharusnya sudah ikut tertuang dalam dokumen Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPDesa).

Berdasarkan Permendagri 114 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pembangunan Desa, seluruh hasil reses anggota dewan itu telah diterima selambat-lambatnya pada bulan September setiap tahunnya, bersama data mengenai pagu anggaran yang masuk ke desa, juga program kegiatan dari anggaran belanja kabupaten yang akan terselenggara di desa.
 
Meski tak menemukan jawaban memuaskan, ada beberapa perbincangan yang saya anggap cukup menarik. Baik melalui hasil reses atau usulan-usulan yang masuk melalui prosesi musrenbang, dominasi program pembangunan fisik infrastruktur turut menjadi kendala dari terpenggalnya program pada saat masuk ke ruang badan anggaran (banggar).
 
Kebutuhan desa-desa dalam hal ini, setidaknya hanya berfokus pada kemungkinan beberapa instansi kedinasan, seperti PU, Tarkim juga Pertanian. Urusan lainnya nampak tak menjadi prioritas bagi desa, sehingga sukar membuka ruang bagi penyelarasan item-item kegiatan prioritas berdasarkan skala kabupaten.

Pada saat pembahasan berlangsung di ruang paripurna, kebutuhan yang besar pada hanya instansi kedinasan tertentu, membuat kegiatan-kegiatan itu harus dipecah atau hanya terpenuhi sebagian demi mewadahi sebanyak mungkin usulan.
 
Barangkali alasan itu terdengar klise, tapi tampaknya harus pula menjadi pertimbangan bagi desa-desa dalam penyusunan prioritas usulan di tiap kali musrenbang berlangsung. Sebagai sebuah alur perencanaan yang dikreasi dari desa hingga kabupaten, sejak awal antisipasi kemungkinan usulan itu harusnya telah dipikirkan akan terjadi.
 
Berkata bahwa program usulan yang didominasi oleh dinas tertentu, dapat menimbulkan kesan bila perumusan kebijakan daerah juga sama sekali tak mempertimbangkan proses perencanaan dengan asas bottom-up yang tenar itu.

Tidakkah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) adalah prosesi yang dibuat dengan alur, sedemikian rupa, dengan turut pula mempertimbangkan RPJMDesa di setiap desa? Tidakkah dalam gelaran musrenbang yang diselenggarakan setiap tahun itu, telah dapat memberikan gambaran lebih padu tentang kecenderungan kebutuhan prioritas desa-desa?
 
Tentu saja desa-desa masih membutuhkan banyak pembangunan fisik, infrastruktur jalan dan jembatan, embung, bak penampung air bersih, saluran irigasi, gudang pertanian, drainase, jalan tani, talut, dan infrastruktur lainnya.

Mereka membutuhkan jalan sebagai mode kemudahan transportasi dan mobilitas. Mereka membutuhkan irigasi agar dapat mengairi sawah-sawah. Mereka membutuhkan infrastruktur-infrastuktur lainnya, dengan kebutuhan anggaran yang biasanya setara dengan keseluruhan postur anggaran yang dikelola oleh pemerintah desa (pemdes).
 
Pada saat perencanaan kabupaten itu coba disusun dengan alur penjaringan aspirasi dan informasi dari tiap-tiap desa dan kecamatan, sejauh itu pula usulan mengalami kegagalan untuk meramu prioritas berdasarkan model-model penjaringan aspirasi yang telah dilakukan.

Tak tahu apakah ada perbedaan definisi prioritas di tiap kali dokumen perencanaan coba dibuat oleh masing-masing perencananya. Dalam kecenderungan simplifikasi pandangan yang dapat saya buat, kecuali adanya perubahan prioritas di satu tingkatan perencana, seharusnyalah item-item prioritas itu dapat diselaraskan satu sama lain.
 
Tentu saja masalahnya memang tak sesederhana itu. Model perencanaan di desa juga harus diamati sungguh-sungguh. Sejauh ini dokumen-dokumen perencanaan itu juga belum dibuat lebih matang, dan serupa gambaran program yang dianggap “jauh panggang dari api”, perumusan program yang tergambar dengan baik sebagai kebutuhan prioritas di desa bahkan sejak dari dokumen perencanaan, tampaknya juga masih membutuhkan waktu lebih panjang untuk dilihat ideal dalam tahun-tahun mendatang.
 
Sementara itu, acuan program di desa yang lebih bisa dilihat dalam asas top-down itu terus lahir, kebanyakan hanya berfaedah untuk elit-elit terbatas di desa, atau menjadi ramuan kelompok kepentingan yang memiliki kans kedekatan dengan para pemangku kebijakan di kabupaten hingga pusat.

Setiap tahun kini desa masih terus di dera masalah yang sama. Hasil reses anggota dewan itu juga tetap dilihat sebagai gangguan ketimbang penyelesaian masalah. Relevansi model perencaan bottom-up atau model top-down, memang seringkali mendapat tantangannya ketika berurusan dengan situasi politik.

Hadirnya kepentingan politik di setiap tingkatan perencanaan, kerap menjerumuskan program menjauh sejak upaya serapan aspirasinya coba dilakukan, hingga tentu saja, tak lagi tepat sasaran. Hal mendasar dalam arena politik yang merepotkan, karena bahkan perencana pula dapat dimasukkan sebagai aktor-aktor dengan kehendak yang turut berpeluang membawa kebijakan telah mandul sebelum dilaksanakan.

Salah satu imbasnya, proses musyawarah yang biasa dihelat demi menjaring lebih dini aspirasi demi aspirasi warga di ruang-ruang demokratis di desa, dipandang kurang atau sama sekali tak memberi hasil. Sedikit-banyaknya juga berkontribusi dalam menurunkan angka partisipasi warga, malah telah ikut menggerus kepercayaan mereka terhadap ruang lingkup birokrasi di setiap jenjang. (bersambung).