Menengok ‘’Ruang Supersemar’’ di Istana Bogor (2)

Oleh M.Dahlan Abubakar (Lanjutan)

Polemik tentang rimba naskah asli Supersemar ’resmi’ sudah terkubur, seiring ’kepergian’ seluruh saksi mata di Istana Bogor. Kecuali beberapa anggota pengawal Istana Bogor yang maih hidup dan sempat menyaksikan peristiwa di ruangan dengan tujuh kursi itu. Salah seorang di antara yang pernah memberikan kesaksian adalah Soekardjo Wilardjito, salah seorang anggota Cakrabirawa yang berpangkat letnan dua.

Memang,  pada tahun 1998 salah satu stasion TV swasta ’keceplosan’ menyebutkan dan mengindikasikan bahwa teka-teka mengenai rimba naskah Supersemar yang asli itu akan dituturkan oleh mendiang Jenderal M.Jusuf. Menurut Husain Abdullah yang mewawancarai M.Jusuf bersama Chairul Muluk Pay (alm.) wartawan Harian Surya,, ’Panglima Para Prajurit’’ itu mengatakan kira-kira begini:

.’’….kalau mau itu anu (Supersemar, maksudnya) tunggu memoar saya. Apa isinya, nanti baca’’. (baca buku saya Menerobos Blokade Kelelawar Hitam, Kisah 99 Wartawan Sulawesi Selatan, Penerbit Kampus Identitas Unhas, Makassar 2010).

Orang kemudian menunggu terbitnya buku tersebut berharap misteri naskah asli Supersemar akan terungkap.. Atmadji Sumarkidjo dalam Jenderal M.Jusuf Panglima Para Prajurit Penerbit Hasta Pustaka, 2006, hlm,174) ,menyebutkan, ketiga jenderal itu tiba di Istana Bogor pukul 13.00. Mereka melapor ke ajudan Brigjen Sobur dan dipersilakan menunggu, karena Soekarno sedang isterahat. Pukul 14.30 mereka dipanggil menghadap.

Letjen Alamsyah Ratuperwiranegara dalam biografinya menduga, faktor terbesar hingga ketiga jenderal itu bisa diterima Soekarno karena Brigjen M,Jusuf masih saudara ipar dengan Maulwi Saelan, Wakil Komandan Tjakrabirawa. Tetapi keduanya membantah adanya faktor kedekatan itu.

Amirmachmud dalam biografinya pun tidak menyebut adanya nama lain yang ikut dalam rombongan tiga orang itu. Begitu juga dengan Panggabean dalam biografinya, tidak pernah menyatakan keterlibatannya dalam urusan Supersemar 11 Maret 1966 di Istana Bogor, seperti dituding Soekardjo Wilardjito.

Jusuf seperti ditulis Atmadji Sumarkidjo, setelah bertahun-tahun tutup mulut mengenai Supersemar, akhirnya buka suara juga. Dia mengatakan, pertama, tidak pernah Panggabean ikut ke Istana Bogor. Kedua, tidak benar dia membawa map untuk diserahkan kepada Bung Karno. Ketiga, tidak benar meninggalkan Istana Bogor pada pukul 01.00 dinihari.  

Maulwi Saelan sendiri mengakui ada anak buahnya bernama Soekardjo Wilardjito. Tetapi, tidak mungkin orang seperti dia bisa mendekati Presiden Soekarno di istana dalam jarak yang begitu dekat, karena yang bersangkutan bukan pengawal pribadi Presiden. Kalau pengakuan Soekardjo hanya sebatas melihat Panggabean masuk ke wilayah istana mungkin masih bisa diterima, tetapi jika disebut sampai melihat dua jenderal menodongkan pistol di ruang dalam istana, jelas masih perlu dipertanyakan.

Jusuf juga mengakui, memang ada perbedaan mencolok dalam dialog antara Soeharto dengan Soekarno sebelum kedatangan tiga jenderal di Istana Bogor. Perbedaan itu adalah sikap ’’lebih keras’’ yang kelihatan dari argumentasi yang mereka sampaikan. Sebelumnya, biasanya Jusuf dan Soeharto berhenti bicara kalau Soekarno bersikeras. Tetapi saat di Istana Bogor, ketiga jenderal itu mendesak terus Presiden menuntaskan sikapnya secara jelas.

’’Makanya, M.Jusuf mempergunakan kata ’dialog yang begitu berat dan kadang-kadang tegang’’, karena mereka pertama kali harus men-challenge alasan yang dikemukakan oleh Presiden dengan sikap tidak mundur,’’ tulis Atmadji.

Menurut Jusuf, pada dialog kedua barulah berhasil dirumuskan kembali konsep surat perintah pemberian kewenangan kepada Men/Pangad Soeharto. Konsep itu lalu diberikan kepada Brigjen Sobur, ajudan Presiden Sekarno, untuk diketik bersih dan dia lakukan di ruang tengah paviliun Istana Bogor. Saat ketikan dibawa ke Presiden, Hartini juga hadir, sehingga menyaksikan juga proses akhir peristiwa bersejarah itu.

Jusuf melihat jam tangannya menunjuk pukul 20.55 WIB, ketika Soekarno membubuhkan tandatangannya yang bersejarah itu.  Setelah dia melihatnya sebentar, lalu diserahkan kepada Basuki Rahmat yang menerimanya tanpa komentar lagi. Kepada pers, Jusuf mengatakan meninggalkan Istana Bogor pukul 20.30, kemudian mengoreksinya. Dia lupa secara tepat pukul berapa penandatanganan itu dilakukan.

Bambang Widjanarko dalam Sewindu Dekat Bung Karno (PT Gramedia Jakarta, 1988) secara spesifik tidak menginformasikan hal-hal baru mengenai peristiwa di Istana Bogor. Hanya dia menulis,’’ Sewaktu tiga jenderal AD (Basuki Rahmat, M.Jusuf, dan Amirmachmud) tiba di Istana Bogor pada tanggal 11 Maret  1966 saya menjemput kedatangan mereka dan mengantarkan ke paviliun tempat Bung Karno (BK) dan Ibu Hartini tinggal. Pertemuan tiga jenderal inilah yang melahirkan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang tersohor itu. Usai pertemuan, BK menuju Jakarta naik helikopter. Waktu telah menjelang magrib dan ternyata tidak ada kendaraan untuk membawa ketiga jenderal itu. Saya menawarkan kendaraan saya dan mereka berkenan untuk berdesakan dalam mobil itu. Saya antarkan mereka ke Jakarta dalam remang-remang malam yang mulai menyelimuti jalan’’.

Salah seorang Pengawal Pribadi Presiden Soekarno, H.Mangil Martowidjojo juga memberikan kesaksian mengenai Supersemar ini. Dalam bukunya Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967 (PT Grasindo Widiasarana Indonesia Jakarta, 1999) dia menulis.

’’Saya masih duduk kembali di teras depan paviliun dan tidak lama kemudian saya mendengar lagi suara helikopter yang akan mendarat di halaman Istana Bogor,’’ ujarnya.

Sebelumnya, Waperdam I dan III, Subandrio dan Chaerul Saleh bersama ajudannya masing-masing mendarat menggunakan helikopter. Helikopter kedua yang mendarat sekitar pukul 15.00 ternyata membawa tiga jenderal (Basuki Rahmat, M.Jusuf, dan Pangdam V Jaya Amirmachmud). Mereka menuju paviliun dan Mangil sudah siap menerimanya. Mangil mengontak Sobur yang kemudian datang berbincang-bincang. Setelah magrib Sobur dengan tergesa-gesa datang ke paviliun Mangil sambil membawa kertas. Kepada anggota staf ajudan Presiden, Sobur minta mesin tik serta kertasnya.

’’Gue mau bikin surat perintah nih…,’’ katanya.

Mangil sendiri tak memperhatikan apa yang diketik Sobur. Dia tetap duduk di kursinya. Usai mengetik, Sobur buru-buru kembali ke paviliun Bapak Presiden. Kelihatan Sobur bangga sekali waktu itu. Sobur selain sebagai ajudan senior, juga menjabat Komandan Pasukan Pengawal Presiden RI, Resimen Tjakrabirawa dan menjabat Sekretaris Militer Presiden.

Kurang lebih pukul 20.00 WIB, tulis Mangil, Jenderal Basuki Rahmat, M.Jusuf, dan Amirmachmud meninggalkan paviliun Istana Bogor kembali ke Jakarta dengan naik mobil. Soekarno menawarkan ketiga jenderal itu makan malam dulu, tetapi ditolak secara halus dengan alasan kemalaman tiba di Jakarta.  Keesokan harinya, Mangil mendengar siaran radio mengenai adanya surat perintah dari Bapak Presiden Soekarno kepada Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto. Inti surat perintah itu terdiri atas tiga soal pokok penting, yaitu:

  1. Menjamin keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan revolusi.
  2. Menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden RI.
  3. Melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.

Soegiarso Soerojo dalam bukunya Siapa Menebar Angin akan Menunai Badai (1988) pun tidak menawarkan sesuatu yang spesifik mengenai Supersemar. Dia mengutip pengakuan Amirmachmud bahwa ketiga jenderal itu baru sadar betapa besar arti surat perintah tersebut setelah di kendaraan dalam perjalanan ke Jakarta. Malam itu juga surat perintah itu disampaikan ke Soeharto yang belum dapat bangun karena sakit tenggorokan. Pukul 23.00 surat perintah sampai ke Soeharto. Malam itu juga para panglima seluruh Indonesia yang masih ada di Jakarta mengadakan musyawarah. Membahas wewenang yang diberikan Presiden Soekarno kepada Soeharto.

Pukul 04.00 dinihari tanggal 12 Maret Surat Perintah 11 Maret digunakan secara jitu oleh Letjen Soeharto atas nama Presiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi, keluar Surat Keputusan Nomor 1/3/1966 tentang pembubaran PKI termasuk organisasinya di tingkat pusat sampai daerah serta semua organisasi yang seasas, berlindung, bernaung di bawahnya serta menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh Indonesia.

Kini, habis sudah pelaku sejarah terbitnya Supersemar. Kematian mereka bagaikan ’’diatur’’. Sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing.  Basuki Rahmat lebih dahulu meninggal. Disusul Amirmachmud, M.Jusuf, dan terakhir Soeharto yang meninggal 27 Januari 2008.  Mereka pergi meninggalkan misteri Supersemar yang entah kapan terjawab.

Hinggga kini misteri naskah yang asli itu tetap jadi teka-teki. Tetapi seperti ditulis Atmadji Sumarkidjo (hlm.185), M.Jusuf juga mempunyai dua versi cerita yang secara substansial berbeda cukup jauh. Pertama dan merupakan versi yang banyak muncul, naskah itu hanya diketik bersih satu kopi. Satu-satunya kopi yang ada itulah yang diberikan kepada Mayjen Basuki Rachmat setelah diteken Bung Karno. Versi kedua yang pernah dikemukakan Jusuf antara lain kepada mantan Wakil Presiden M.Jusuf Kalla adalah Brigjen Sobur mengetik rangkap tiga dengan kertas karbon. Kopi utama itulah yang ditandatangani Presiden. Tindasan pertama disimpan oleh Sobur. Tindasan kedua atau kopi ketiga diambil dan disimpan oleh Brigjen M.Juauf. Dua lembar kopi sama sekali tidak ditandatangani Presiden.

Jusuf mengaku kalau kopi naskah yang asli dibawa Basuki Rachmat.

’’Kalau surat yang asli sudah dibawa Basuki (Rachmat) ke Soeharto. Jadi jangan kau tanyakan lagi kepadaku!,’’ kata Jusuf ketika ditanya Atmadji Sumarkidjo (hlm.186).

Namun Atmadji Sumarkidjo mengakui, sekitar Mei 1991, Jusuf yang ketika itu menjabat Ketua Bepeka pernah menunjukkan sebuah fotokopi Supersemar kepadanya. Kopinya sendiri sudah tidak begitu jelas, terdiri atas dua halaman dan ada tanda tangan Presiden.

’’Kau lihat, ini bunyi Surat Perintah yang asli,’’ kata Jusuf singkat seperti ditulis Atmadji Sumarkidjo.

Jusuf sendiri tidak pernah mengungkapkan naskah Supersemar yang asli dan palsu. Hingga meninggal dunia, beliau tidak pernah menyoal fotokopi Supersemar, baik yang dia berikan kepada Atmadji maupun kepada M.Jusuf Kalla.

Meninggalkan ’ruang Supersemar’’ itu, saya tak bernafsu lagi berkisah panjang mengenai ruangan demi ruangan. Meski ada satu ruangan lain yang pernah digunakan sebagai lokasi Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) lima negara. Di ruangan yang berseberangan dengan ruang kerja Soekarno – tetapi agak serong sedikit ke kiri – masih tampak lima bendera negara peserta.

Di sana sini tampak patung kayu perempuan tanpa busana. Wisata istana kami akhiri di museum. Di sini terhimpun sejumlah lukisan. Ada lukisan besar yang menggambarkan selera seni yang tinggi dari Soekarno. Di museum ini pun tersimpan berbagai benda budaya dari seluruh Indonesia. Di ruangan ini, benar-benar saya tidak bisa mencuri kesempatan memotret sama sekali. Dilarang habis!! (Selesai).