Di Sulsel Terdapat 6.500 Disleksia

MAKASSAR, Timuronline – Pada tahun 2010 di Indonesia terdapat 2,4 juta anak yang menderita disleksia, yakni anak-anak yang tidak dapat membaca dan menulis pada usia yang semestinya mereka sudah mampu melakukannya. Pada tahun 2014 jumlah anak menderita disleksia ini mencapai 5 juta orang.

” Di Sulawesi Selatan saat ini terdapat 6.500 anak disleksia,” kata Dr.Tammasse, yang meraih doktor dalam Ilmu Linguistik bidang kajian Neupsikolinguistik di Fakultas Ilmu Budaya Unhas beberapa waktu lalu kepada wartawan timuronline di Makassar, Minggu (04/03/18).

Tammasse yang dibimbing promotor Prof.Dr.Abdul Hakim Yassi, Dipl.TESL, kopromotor 1 Dr.dr.Jumraini dan kopromotor 2 Dr.Ikhwan M.Said, tersebut mengatakan, masyarakat kita masih malu menginformasikan anak-anak mereka memiliki gangguan disleksia karena menganggapnya sebagai aib dan kutukan.

” Padahal, banyak orang besar pernah menderita disleksia. Itu membuktikan disleksia dapat disembuhkan,” kata Tammasse yang dilahirkan di Soppeng 25 Agustus 1966 tersebut sambil memberi contoh orang-orang besar penderita disleksia antara lain, Albert Einstein (penemu Teori Relativitas), mendiang petinju legendaries Mohammad Ali, mantan PM Singapura Lee Kuan Yew almarhum dan pengarang besar Amerika Ernest Hemingway.

Tammasse mengatakan, anak-anak disleksia dapat diterapi agar mereka keluar dari gangguan membaca dan menulis. Hasil penelitian yang dia lakukan di Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) 2 Baddoka Makassar mengungkapkan, pada umumnya anak-anak disleksia dapat membaca, meski sering huruf dibaca terbalik.

” Jika ditulis “mama”, mereka membacanya “wawa”,” ujar Tammasse yang kedepan mengimpikan adanya “Pojok Disleksia” di Kota Makassar.

Dokter Spesialis Saraf Unhas, Dr.dr.Jumraini yang juga istri Tammasse dan menjadi kopromotor suaminya mengatakan, disleksia disebabkan dua hal, yakni berkaitan dengan genetic bersumber dari keturunan dan aquired, yakni karena adanya gangguan pada otak kiri dan beberapa penyakit yang menjadi penyebab. Kebanyakan anak disleksia menderita yang kedua, sehingga dapat disembuhkan.

Oleh sebab itu, menurut Jumraini, untuk mencegah anak tidak menderita disleksia diperlukan penanganan secara kolaboratif mencakup perbaikan gizi dan keterlibatan keluarga, guru dan sekolah serta perubahan paradigma masyarakat terhadap penderita disleksia.

” Disleksia acquired masih bisa disembuhkan, sehingga para orangtua yang memiliki penderita ini tidak perlu putus asa,” ujar Jumraini, ibu dua anak ini. (Mda/Red).