Menu

Mode Gelap
Hadiri Perayaan Syukur Peresmian Gereja, Ini Pesan Wakil Bupati Luwu Timur Pemkab dan DPRD Lutim Studi Tiru ke Bogor Belajar Perda KLA Samakan Persepsi dan Sinkronisasi, DPK Lutim Gelar Rapat Simulasi Pengisian Pengawasan Kearsipan Melihat Peluang Timnas Indonesia Menju Babak 8 Besar Piala Asia 2024 : Hanya Butuh Hasil Seri Klasemen Sementara Piala Asia U-23 Tahun 2024 Kalahkan Australia, Timnas Indonesia U-23 Jaga Asa Lolos Fase Group Piala Asia

ARTIKEL · 20 Apr 2018 03:36 WITA · Waktu Baca

Menolak Kuliah, Memilih Bertani


					Menolak Kuliah, Memilih Bertani Perbesar

Oleh : Mustam Arief

Cerita Sukses Anak Muda Bertani di Luwu Timur (II):

Manolak melanjutkan sekolah dan memilih bertani. Ini pilihan langka anak-anak muda desa. Tetapi tidak dengan Suardi. Warga Dusun Posintoe, Desa Balai Kembang, Kecamatan Mangkutana, Luwu Timur, Sulawesi Selatan ini tidak mengikuti kehendak orangtuauntuk kuliah. Suardi lebih memilih bertani.

Suardi kini mengelola dua hektar kebun kakao dan menjual 40 ribu bibit kakao setiap tahun. Kebun itu diambil-alih dari lahan orangnya. Hasilnya, tiga tahun terakhir Suardi membeli empat hektar lahan tambahan kebun kakao. Tidak hanya itu, anak muda berusia 25 tahun ini juga mendampingi 135 petani kakao dalam beberapa kelompok di Mangkutana dan sekitarnya.

Bagi Suardi, tantangan awal adalah meyakinkan orangtuanya atas pilihannya bertani. Ketika tamat sekolah di SMA Tomoni, orangtuanya menghendaki Suardi melanjutkan ke perguruan tinggi. Tetapi obsesi orangtua ini ditolak Suardi.  Ia tetapbertekad menjadi petani.

Tahun 2014, Suardi diajak mengikuti pendidikan dan latihan (diklat) yang dilaksanakan Mars Indonesia. Program diklat pengaderan petani dari Mars ini memberi bekal Suardi dengan predikat CacaoDoctor. Gelar bagi alumnus diklat yang sudah dianggap memiliki kemampuan dan keterampilan memadai dalam budidaya tanaman kakao. Selanjutnya, lepasan diklat ini akan membentuk dan mendampingi kelompok petani kakao.

Namun, usia yang masih relatif muda, juga menjadi kendala bagi Suardi sebagai pendamping petani. Para petani senior yang penuh pengalaman, memandang sebelah mata kepada anak muda ini, sebagai pendamping. Mungkin merasa tidak layak diajari bertani oleh anak muda yang dianggap masih ‘‘bau kencur.’’

Tetapi, Suardi tak patah semangat dengan hambatan ini. Ia menempuh strategi lain. Ia menerapkan pengetahuan yang diperolehnya ke lingkungan keluarga. Sekitar dua tahun, apa yang dilakukan Suardi membuahkan hasil memuaskan. Produksi buah kakao melebihi petani-petani dengan pola lama. Para petani yang sebelumnya menyepelekan Suardi, mulai tertarik dan kemudian mengikuti pendampingannya.

”Pembelajarannya, petani itu harus melihat dulu bukti, bukan hanya cerita. Setelah saya berhasil dengan beberapa keluarga, mereka antusias didampingi,” ungkap Suardi.

Awalnya, implementasi pengetahuan Suardi yang diperolehnya lewat diklat, juga tidak serta-merta diterima orangtuanya. Ia berbeda pemahaman dengan ayahnya, yang punya kemampuan berkebun kakao secara tradisional sudah puluhan tahun.  

”Misalnya tentang pemangkasan. Dari pengetahuan yang saya peroleh, pemangkasan ranting atau cabang kakao  dilakukan terjadwal. Tidak asal pangkas sesuka hati. Ada pemangkasan ringan setiap minggu atau setiap bulan, dan ada pemangkasan besar untuk produksi buah dilakukan enam bulan sekali. Tetapi, bagi bapak saya, pokoknya kalau musim hujan, harus dipangkas,” cerita Suardi.

Ketidaksepahaman Suardi dan ayahnya itu berakhir setelah melihat hasil praktik Suardi. ”Sekarang bapak sudah sepaham dengan saya. Bahkan bapak sudah menyerahkan sepenuhnya pengelolaan kebun keluarga ke saya,” tambah Suardi.

Dari lahan dua hektar milik orangtuanya, kini bisa menghasilkan produksi biji kakao maksimal dua ton per hektar setiap musim. Capaian itu bila tidak ada hambatan anomali musim/iklim. Harga biji kakao kering saat ini antara Rp 30.000 samai Rp 35.000 per kilogram. Sementara biji basah dihargai Rp 11.000 hingga 15.000 per kilogram.

Selain mengelola kebun kakao sendiri dan mendampingi masyarakat, Suardi juga menjual bibit tanaman kakao. Dalam satu tahun, ia memasarkan kurang lebih 40.000 bibit atau dua kali penjualan masing-masing sekitar 20.000 bibit. Harga rata-rata bibit kakao sambung pucuk saat ini adalah Rp 4.000 per batang.

Dari hasil kebun kakao dan bibit, Suardi membeli empat hektar lahan kebun. ”Sebagai investasi masa depan,” katanya. (mus)

Artikel ini telah dibaca 0 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Stop ! Pesta Demokrasi Bukan Ajang Saling Hina

7 Februari 2024 - 09:50 WITA

Pemilu 2024

Dari Fasilitas Pembibitan, Vale Buktikan Komitmen Keberlanjutan

10 November 2023 - 19:33 WITA

Vale Indonesia

Vale Hadir Wujudkan Pemberdayaan Masyarakat Lokal

12 Oktober 2022 - 17:13 WITA

Vale Indonesia

Pentingnya Asas “Simbiosis Mutualisme” Polri – Pers Dalam Penyebarluasan Informasi

6 Juli 2022 - 10:17 WITA

Lomba Menulis Polda Sulsel

Obituari Hj. Andi Murlina Muallim, Panutan Kesederhanaan Istri Pejabat

20 Juli 2020 - 10:44 WITA

Trending di ARTIKEL