Menengok ‘’Ruang Supersemar’’ di Istana Bogor (1)

Oleh M.Dahlan Abubakar

 Pengantar Redaksi:

Hari ini genap 53 tahun terbitnya Surat Perintas Sebelas Maret (Supersemar) yang hingga kini sejarahnya masih kabur. Mengiringi usianya yang sudah setengah abad lebih ini, redaksi menurunkan catatan seputar ruangan dan tempat Supersemar itu lahir. Semoga ada manfaatnya. (*).

MINGGU, 3 FEBRUARI 2008. Wakil Presiden H.M.Jusuf Kalla selaku Ketua Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Universitas Hasanuddin mengundang seluruh peserta Simposium dan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IKA Unhas bersantap siang di Istana Bogor. Saya pikir, ini kesempatan emas menginjakkan kaki di istana yang pernah mengukir sejarah gemilang dalam perjalanan bangsa tersebut. Padahal, Sabtu (2 Februari) malam saya sudah berencana cabut dari Ciloto, Jawa Barat, tempat Rakernas tiga hari itu berlangsung, masuk Jakarta yang kala itu sedang direpoti oleh banjir besar. Banjir itu sampai-sampai memutus hubungan transportasi Bandara Internasional Soekarno-Hatta dengan Kota Jakarta.

Malam hari, tiba-tiba Ketua Harian IKA (Wilayah Jakarta, juga Ketua Harian untuk Sulsel) dr.Farid Husain mengumumkan bahwa Ketua Umum IKA siap menerima para peserta Rakernas bersantap siang di Istana Bogor pada pukul 12.00 WIB.

” Pada kesempatan lain belum tentu bisa memperoleh kesempatan  ‘berlian’ seperti ini. Bahkan, mungkin hingga kiamat,’’ seloroh saya kepada teman-teman peserta lain.

Acara makan siang biasa-biasa saja. Setelah diisi laporan Ketua Panitia Pelaksana Simposium & Rakernas dr.Farid W.Husain, M.Jusuf Kalla langsung memberi sambutan, sekaligus merespons beberapa wacana penting yang dilaporkan Farid dan menjadi simpulan Rakernas. Setelah itu, dilanjutkan santap siang bersama.

Kegembiraan saya berbunga-bunga, karena usai santap siang, dr.Farid Husain mengumumkan, peserta Rakernas akan diajak keliling ruang-ruang di istana dan diantar oleh Kepala Rumah Tangga (Rumga) Istana

” Tapi, jangan macam-macam, di setiap sudut ada kamera tersembunyi,’’ Farid Husain sembari terkekeh ‘mengancam’ peserta.

Puluhan peserta berjalan di belakang Kepala Rumga (Rumah Tangga) Istana Bogor. Saya lupa namanya. Mengenakan batik bintik-bintik merah dipadu dengan celana hitam. Rambutnya pendek. Di bahu kiri tergantung mikropon putih. Di tangan kirinya memegang map berwarna bendera negara, ya pasti, merah putih juga kan. Tangan kanannya memegang mik yang ‘menadah’ suaranya, menjelaskan ruangan demi ruangan yang kami kunjungi.

Setelah puluhan langkah kami ayun, tiba di satu ruangan. Kami berhenti. Di situlah ruang perpustakaan Bung Karno. Banyak buku, tetapi tidak satu pun yang saya tahu atau baca judulnya. Yang jelas, pasti banyak buku berbahasa Belanda dan Inggris. Soalnya, Bung Karno sangat fasih berbahasa Belanda dan Inggris. Dia memang didikan Belanda. Kami  hanya ’mengintip’ dari luar. Tidak boleh masuk ke ruang perpustakaan. Kepala Rumga Istana berdiri di pintu.  Kata teman-teman, ruangan-ruangan ini dilarang dipotret, tetapi saya tetap nekad mencuri memotret. Rugi deh jika tidak memanfaatkan kesempatan memotret..

Di salah satu dinding, terdapat foto Jawaharlal Nehru, Presiden India yang juga hadir pada Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada tahun 1955. Foto hitan putih ini kira-kira ukurannya 30 x 40 cm.

Di ruang ini juga ada satu set meja kayu, tetapi tidak jelas dari jenis kayu apa. Kemungkinan kayu jati Jepara yang terkenal. Begitu pun lemari buku yang tingginya sekitar satu meter lebih.

Ruang Supersemar

Beralih ke ruang berikutnya. Nah, ini dia. Ruang yang telah menjadi ’buah bibir’ sejarah perjalanan bangsa yang hingga kini terus menjadi misteri. Ruang kerja Bung Karno diisi sebuah meja kerja, yang ukuran besarnya sama dengan dua kursi lain di hadapannya. Di atas meja – di sebelah kiri — terbaring sebatang gading gajah putih. Panjang sekitar 1 meter. Di sebelah kanan – masih di atas meja – terdapat sebuah globe, bola dunia.

Di belakang meja kerja, terdapat sebuah rak buku panjang – mungkin tiga meter — setinggi sekitar satu meter. Banyak buku di dalamnya. Di atasnya,  tegak empat keramik. Di sebelah kiri patung pendek (entah siapa punya muka), terdapat dua piring yang agaknya keramik. Di dinding – tepat di atas rak buku – ’menempel’ sebuah lukisan besar. Di lukisan itu ada beberapa ekor itik sedang berenang.

Di sebelah kiri meja kerja, menempel di dinding, tergantung sebuah foto besar ’si empunya’ ruang kerja, Bung Karno. Foto itu memperlihatkan Bung Karno mengenakan kopiah dan stelan jas kerja warna krem dengan dasi hitam tampak di bawah kerah bajunya. 

Di sebelah kiri pintu — yang di sebelah kiri foto Bung Karno — juga terdapat sebuah lukisan besar. Gambarnya sebuah pohon sarat dengan bunga warna merah. Di bawah lukisan itu, lagi-lagi terdapat rak buku setinggi satu meter dengan panjang sekitar tiga meter. Di atas rak buku, tegak empat buah keramik. Tiga yang tinggi dan satu pendek.

Di pojok ruangan, berdiri sebuah meja yang tampaknya sengaja diletakkan sebagai tempat berdirinya sebuah patung. Saya tidak kenal patung siapa. Yang pasti, di atasnya ada sebuah talang keramik cembung menggantung di dinding.

Sebuah lukisan lain dengan ukuran yang sangat besar, nyaris menyita seluruh dinding ruangan, juga melengket berhadapan dengan meja kerja Bung Karno ’nun jauh’ di ujung ruangan yang lain. Lukisan itu menggambarkan suasana di luar negeri. Itu jika dilihat dari busana yang dikenakan dan postur fisik orangnya. Di depan lukisan terdapat sepasang kursi yang di tengahnya terdapat meja kayu yang di atasnya tegak sebuah keramik putih. 

Di plafon ruangan ini tergantung dua pumpunan lampu pijar. Saya tidak bisa menghitung berapa banyak lampu pada setiap pumpunan lampu itu. Meski siang hari itu, lampu dalam keadaan menyala.

Saya akan berkisah banyak tentang ruangan ini. Mengapa? Di sinilah, bagian penting dari perjalanan panjang sejarah bangsa dan negara ini ikut terukir. Kisah lahirnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966 yang hingga kini masih menitip misteri. Dan, mungkin saja misteri ini tidak akan pernah terungkap, karena para pelakunya sudah tiada. Misteri ini terutama perihal naskah asli surat perintah itu, plus cara memperolehnya. Tujuh kursi yang saya sebutkan ada di ruang ini, agaknya cocok dengan jumlah orang yang ada di ruangan itu pada 11 Maret 1966, saat Supersemar bermula. Soekarno, tiga Waperdam I,II, dan III  (Subandrio, Leimena, dan Chairul Saleh), Basuki Rahmat, M.Jusuf, dan Amirmachmud.

H.Maulwi Saelan (Dari Revolusi ’45 sampai Kudeta ’66, Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa, diterbitkan Yayasan Hak Bangsa Jakarta, 2002) mengungkapkan kesaksian Ibu Hartini. Supersemar diselesaikan di Istana Bogor, sesuai konsep Soeharto yang dibawa tiga jenderal, yakni Basuki Rahmat, M.Jusuf, dan Amirmachmud. Konsep surat perintah itu berkali-kali diubah, karena belum sesuai dengan keinginan utusan Soeharto.

Ketika naskah Supersemar berkali-kali mengalami perubahan, Soekarno bertanya kepada tiga Wakil Perdana Menterinya, masing-masing Dr.J.Leimena, Chairul Saleh, dan Dr.Subandrio. Masing-masing mereka menjawab.

Dr.Leimana:’’No comment. Ik laat het helemaal aan u over’’ (Saya serahkan sepenuhnya kepada Bapak). Bung Karno pun beralih ke Waperdam II.

Chairul Saleh menganjurkan Soekarno sembari berkata:’’Het is beter, dat u tot God gaat bidden en vraagt zijn antwoord’’ (supaya sembahyang istikharah dulu, mohon petunjuk Tuhan).

Soekarno mengikuti saran Chairul Saleh. Dia salat dan memakan waktu satu jam. Sekembali dari salat, dia bertanya kepada Subandrio dan dijawab:’’Als u deze brief tekent dan valt u in the trap ( jika surat perintah itu ditandatangani, berarti sama dengan masuk perangkap).

Soekarno tidak mampu menolak desakan ketiga jenderal tersebut. Surat perintah tersebut merupakan jalan bagi Soeharto merebut kekuasaan yang secara de facto sudah dalam genggamannya.

            Hartini sempat melontarkan pertanyaan pada suaminya.

            ’’Bent U nag President? (Apakah Bapak masih Presiden?)’’.

Soekarno menjawab:’’Ik geef mijn Stoel als President niet aan Soeharto, maar de (saya tidak memberikan tahta kepresidenan kepada Soeharto, tetapi hanya ) untuk keamanan saya dan keluarga serta ajaran-ajaran Bung Karno’’.

Soal cara pemerolehan Supersemar, Asvi Warman Adam (Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia, Ombak 2004) mengangkat kesaksian anggota Tjakrabirawa Letda (Purn.) Soekardjo Wilardjito yang menyebutkan, pengalihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto diberikan dalam keadaan terpaksa. Orang bisa menduga bahwa Maret (1966) itu terjadi semacam kudeta. Kaswadi (77) dan Serka (Purn.) Rian Ismail yang kini bermukim di Klaten, Jawa Tengah juga memberikan kesaksian. Mereka melihat bahwa tamu yang datang ke Istana Bogor berjumlah empat orang, bukan tiga orang seperti yang diketahui selama ini. Bahkan Kaswadi mengakui bahwa ’’Pada waktu itu, 11 Maret 1966, saya melihat Panggabean ada di Istana Bogor’’. Malah pernyataan Soekardjo ini membuat heboh, lantaran dia mengatakan, Soekarno meneken surat perintah itu di bawah todongan pistol Basuki Rahmat dan Panggabean.

’’Saat itu sekitar p;ukul 01.00 WIB dinihari. Penggabean datang mengendarai jip dan berpakaian dinas militer. Ia kemudian berjalan masuk menuju Istana Bogor,’’ Kaswadi bertutur kepada LBH Yogyakarta.

Panggabean waktu itu menjabat Ketua Tim Umum yang dibentuk Soeharto. Tetapi Jenderal M.Jusuf membantah kesaksian dan pernyataan Kaswadi itu. Yang menemui Soekarno waktu itu hanya tiga jenderal. Mereka di sana hanya sampai pukul 20.30. Menanggapi bantahan M.Jusuf, Soekardjo Wilardjito tetap bersikukuh dengan pengakuan semula. Bahkan, dia bersedia melakukan sumpah pocong di pengadilan.

Asvi Warman Adam mengungkapkan, menurut KH Yusuf Hasyim dari Tebuireng Jombang, yang menyimpan naskah asli Supersemar itu adalah Mas Agung (alm.). Jika ini benar, mengapa sampai naskah itu jatuh ke tokoh yang dekat dengan Soekarno. Yusuf Hasyim diberi salinan dua naskah Supersemar. Yang satu berjumlah dua halaman, sedangkan yang satunya lagi hanya satu halaman. Naskah asli itu konon disimpan di sebuah bank di luar negeri. Diperkirakan di Singapura. (Bersambung)