In Memoriam Ishak Ngeljaratan : Selamat Jalan Sang Guruku!

Oleh M.Dahlan Abubakar
Wartawan Senior

Timuronline – Saya belum sempat membuka gawai yang sedang ‘’tambah stamina’’ sekadar menengok pesan melalui ‘’whatsapp’’ (WA), Senin (16/07/18) pagi ketika tiba-tiba rekan Dr.Tammasse Balla menelepon. Dia mengabarkan, ‘’Guru kita Pak Ishak Ngeljaratan meninggal’’. Saya langsung termenung. Hanya berselang dua atau tiga menit, telepon saya berdering lagi. Rupanya Prof. Radi A.Gany juga menelepon dan mengabarkan Pak Ishak Ngeljaratan. Saya kemudian menghidupkan gawai, membuka dan membaca WA. Hampir seluruh grup WA yang menggaet
saya sebagai anggota grup, dalam keadaan berduka cita. Itu membuktikan bahwa almarhum Pak Ishak Ngeljaratan adalah tokoh lintas etnis dan lintas agama. Dia seorang budayawan yang sangat islami dari seorang Islam.
Terakhir saya berkomunikasi dengan beliau melalui telepon satu pekan lalu .

Hari itu, beliau menelepon setelah membaca tulisan Adinda Aslan Abidin di Harian ‘’Fajar’’ berjudul ‘’Kotak Kosong sebagai Anugerah Demokrasi’’. Beliau memberitahu saya tentang tulisan itu, sembari menambahkan bahwa untuk tulisan seperti itu, katanya, masih harus tambah trik pada saya berkaitan dengan soal keruntutan. Beliau selalu memuji saya sebagai salah seorang didikannya. Begitulah jika ada tulisan saya yang dibacanya di harian ‘’Fajar’’, beliau selalu menelepon.

” Anda ini luar biasa,”  itulah kalimatnya yang selalu diungkapkan dan saya rasa sudah susah berubah.

” Teruslah menulis, dan saya senang cara Anda menulis. Anda betul-betul seorang jurnalis yang penulis,’’ imbuhnya lagi.

Saya terus terang harus mengakui, tanpa campur tangan pria kelahiran Tanimbar Maluku Tenggara 27 September 1936, saya tidak AKAN pernah bisa menulis dan pernah mampu menjadi seperti sekarang.

Guru Kreatif

Di dalam buku “Di Antara Sahabat” setebal 357 halaman, saya pun menyumbang satu tulisan bertajuk “Guru Kreatif”. Jujur mengatakan, saya mungkin satu-satunya murid langsung Pak Ishak Ngeljaratan dalam hal belajar ABC menulis. Saya bersyukur memperoleh kesempatan langka kuliah “empat mata” selama berminggu-minggu pada tahun 1975. Mata kuliah “Penulisan Kreatif” mengharuskan saya kuliah bagaikan seorang penceramah terus
berbicara pada seorang khalayak tunggal.

Sedikit bernostalgia, ketika menjadi mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin tahun 1972, dari 22 orang yang mendaftar,satu-satunya mahasiswa yang memilih Jurusan Sastra Indonesia, adalah saya. Di sini cerita interaksi saya dengan Pak Ishak Ngeljaratan bermula.

Ada tiga tulisan yang dimuat di Penerbitan Kampus “Identitas” Universitas Hasanuddin yang menjadi ‘tugu peringatan’ bagi interaksi kreatif saya dengan Pak Ishak Ngeljaratan. Pada tahun 1975 edisi Minggu II Februari “Identitas”, saya menulis artikel bertajuk “Organisasi dan Kaderisasi”. Pada edisi Minggi II Maret, muncul tulisan berjudul “Seni dan Keindahan, Adakah Perbedaannya?”. Dan, pada Minggu I April, terbit artikel berjudul “Komentar Setelah Berperan dalam Drama”.

Ketiga tulisan itu selalu terkenang, bukan hanya karena karya awal saya yang dimuat di media cetak, melainkan inspirator lahirnya tulisan-tulisan itu adalah guru saya, Ishak Ngeljaratan. Tentu pembaca akan bertanya, seperti apa posisi beliau sebagai inspirator itu?

Dalam perkuliahan ‘empat mata’ ini, saya sangat beruntung. Pak Ishak Ngeljaratan memberi saya teori menulis yang tentu saja waktu itu belum banyak saya temukan di buku-buku seperti sekarang ini. Sambil memberikan pemahaman teori, beliau selalu memberi contoh. Bagaimana membuat introduksi sebuah tulisan. Bagaimana mengembangkan introduksi itu ke dalam pembahasan (batang tubuh) tulisan, lalu bagaimana menarik simpulan berupa intisari yang kelak menjadi masukan dari sang penulis. Saya merasakan beliau seolah membukakan
pintu masuk guna menemukan jalan ke menulis.

Pada tugas yang pertama, saya memilih topik “Organisasi dan Kaderisasi”, karena saat itu sedang gencar-gencar dan maraknya kehidupan berorganisasi di kalangan mahasiswa. Tulisan tersebut, saya perlihatkan dan setelah membaca, Pak Ishak menyarankan saya mengirim tulisan tersebut ke Identitas. Alhamdulillah, ternyata dimuat.
Pada kuliah yang juga menganalisis tulisan yang dimuat di Identitas itu, Pak Ishak mencarikan saya topik yang sedikit ilmiah. Artinya, harus menulis dengan memanfaatkan referensi (buku). Saya menggunakan dua buku referensi untuk menulis artikel yang bertajuk “Seni dan Keindahan, Adakah Perbedaannya?”. Ternyata, tulisan itu dimuat lagi oleh Identitas pada bulan Maret 1975 itu. Pemuatan tulisan ini menyemangati saya terus menulis.
Meskipun saya sudah sering menulis, tetapi genre tulisan hanya berupa cerita pendek yang penuh dengan imajinasi. Menulis artikel nonsastra pasca diajar Pak Ishak-lah saya baru mulai. Kebanyakan cerita pendek saya justru diramu dari fakta, pengalaman sendiri, yang dipoles seolah fiktif.

Yang ingin saya garis bawahi dari interaksi akademik ini adalah bahwa pengalaman kuliah tatap muka dengan Pak Ishak Ngeljaratan itu telah mengubah 1800 kehidupan kreatif saya di kemudian hari. Praktik pembelajaran Pak Ishak ini, selalu saya tularkan kepada para mahasiswa saya ketika di Kampus Tamalanrea. Jika sekadar membawakan materi mengenai penulisan, saya selalu jadikan contoh kuliah empat mata itu sebagai success story saya. Ini dimaksudkan agar mahasiswa punya prinsip bahwa “saya pun bisa”.

Pak Ishak sepanjang yang saya tahu, tidak hanya sebagai guru kreatif, tetapi juga termasuk sosok yang sangat kritis. Gara-gara tulisan, beliau sempat menghuni sel Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda) Sulawesi Selatan dan Tenggara beberapa lama tahun 1970-an. Tetapi, sel itu hanya mampu menyandera fisiknya, tidak pemberontakan kreatifnya.
Kini, Sang Guru telah pergi. Mengikuti sahabat-sahabat budayawan yang lainnya dan telah mendahuluinya. Sahabat-sahabatnya, Arsal Alhabsy, Husni Djamaluddin, Rahman Arge, Mohammad Rusli Ottoluwa (Muhammad Ramto) yang merupakan manusia-manusia langka yang tidak pernah lelah berbicara tentang kebudayaan dan kemanusiaan.

Kepergiannya membuat tidak ada lagi orang yang rajin menelepon jika ada tulisan dimuat dan selalu
mengungkapkan rasa bangganya terhadap seorang murid langsungnya.

Selamat Jalan Guruku, semoga Guru abadi di sana. Aamiin.
Makassar 16 Juli 2018.