Jakarta.Timuronline. Mahkamah Konstitusi (MK) Senin (2/4/) memiliki ketua yang baru. Dr.Anwar Usman, S.H., M.H. yang sebelumnya menjabat Wakil Ketua MK, terpilih sebagai Ketua MK dalam pemilihan menggunakan voting.Anwar Usman meraih 5 suara, mengungguli Suhartoyo.
Anwar Usman yang dilahirkan di Bima 31 Desember 1956 tersebut, menggantikan Arief Hidayat yang sudah dua periode menjabat Ketua MK.Dalam pemilihan Wakil Ketua MK, Aswanto pun meraih juara 5 mengalahkan Saldi Isra yang mengantongi 4 suara.
Anwar Usman sejatinya ingin menjadi guru agama.Ini ditandai pendidikan yang diikutinya sebelum melangkah ke universitas.Dia adalah calon guru agama.Ini dapat dilihat dengan memilih Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Bima yang diikutinya.
Benar adanya, dia mengawali karier sebagai seorang guru honorer pada 1975 di SD Kalibaru Jakarta.Dia kemudian melanjutkan pendidikan ke Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta dan meraih gelar sarjana hukum pada tahun 1984.
Modal inilah yang mengantar Anwar Usman melamar jadi calon hakim. Ternyata pada tahun 1985 dia lulus diterima jadi calon hakim dan ditempatkan di Pengadilan Negeri Bogor.
Kariernya pun mengalir bagaikan air.Antara tahun 1997-2003 dia menjabat Asisten Hakim Agung.Selepas itu, 2003-2006 diangkat sebagai Kepala Biro Kepegawaian Mahkamah Agung merangkapnya dengan Hakim di Pengadilan Tinggi Jakarta.
Pada tahun 2006-2011 Anwar Usman menjabat Kepala Badan Litbang Kumdil Mahkamah Agung. Pada tahun 2011 Mahkamah Agung mencalonkan Anwar Usman sebagai hakim konstitusi dan tercatat sebagai orang ke-7 Mahkamah Agung yang masuk MK. Dia menggantikan Arsuad Sanudi yang mengundurkan diri. Anwar Usman merupakan hakim konstitusi ke-18 selama mahkamah itu berdiri.
Pada tahun 2015, saat Arief Hidayat menjabat Ketua MK periode pertama, Anwar Usman menjabat Wakil Ketua MK.
“Saya sama sekali tak pernah membayangkan untuk mengucapkan sumpah jabatan di hadapan Presiden. Saya juga tak pernah membayangkan bisa terpilih menjadi salah satu hakim konstitusi,” jelas suami dari Hj. Suhada yang merupakan seorang bidan yang kini mengurus RS Wijaya Kusuma, Lumajang, dan RS Budhi Jaya Utama, Depok ini seperti diberitakan laman Mahkamah Konstitusi.
Anwar yang dibesarkan di Desa Rasabou, Kecamatan Bolo, Bima, Nusa Tenggara Barat, mengaku dirinya terbiasa hidup dalam kemandirian.Lulus dari SDN 03 Sila, Bima pada 1969, Anwar harus meninggalkan desa dan orang tuanya untuk melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) selama 6 tahun hingga 1975.
“Selama sekitar enam tahun hidup terpisah dari orangtua, saya banyak belajar tentang disiplin dan kemandirian, karena memang sebagian hidup saya habiskan di perantauan,” jelas putra asli Bima, Nusa Tenggara Barat ini.
Lulus dari PGAN pada 1975, atas restu Ayahanda (Alm.) Usman A. Rahim beserta Ibunda Hj. St. Ramlah, Anwar merantau lebih jauh lagi ke Jakarta dan langsung menjadi guru honorer pada SD Kalibaru.Selama menjadi guru, Anwar pun melanjutkan pendidikannya ke jenjang S-1.Ia pun memilih Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta dan lulus pada 1984.
“Teman-teman saya sesama PGAN kala itu banyak memilih untuk melanjutkan pendidikan ke IAIN, mengambil fakultas tarbiyah, fakultas syariah atau fakultas lainnya.Adapula yang melanjutkan pendidikan ke Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP).Jarang yang memilih fakultas hukum.Akan tetapi, saya tidak melepaskan diri dari dunia pendidikan yang menjadi basic saya.Terbukti SD Kalibaru tempat pertama kali saya mengadu nasib di Jakarta pada 1975 telah berkembang menjadi sebuah yayasan pendidikan dengan berbagai jenis dan tingkatan pendidikan.Saya pun terpilih dan diangkat menjadi Ketua Yayasan sampai saat ini,” ujar pria yang gemar menyanyikan lagu-lagu Broeri Marantika.
Pecinta Teater
Selama menjadi mahasiswa, Anwar aktif dalam kegiatan teater di bawah asuhan Ismail Soebarjo.Selain sibuk dalam kegiatan perkuliahan dan mengajar, Anwar tercatat sebagai anggota Sanggar Aksara.Dirinya pun sempat diajak beradu akting dalam sebuah film yang dibintangi oleh Nungki Kusumastuti, Frans Tumbuan dan Rini S. Bono besutan sutradara ternama Ismail Soebarjo pada 1980.Penampilannya sebagai salah seorang bintang peran tidak mengherankan, karena penampilannya memang boleh ‘’dijual’’ untuk akting.
“ Saya hanya mendapat peran kecil, namun menjadi suatu kebanggaan bisa menjadi anak buah sutradara sehebat Bapak Ismail Soebarjo, apalagi film yang berjudul “Perempuan dalam Pasungan” menjadi Film Terbaik dan mendapat Piala Citra,” kenang pria yang meraih gelar Doktor di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.
Akan tetapi, keterlibatan Anwar dalam film yang meledak pada 1980 tersebut, menuai kritik dari orangtuanya.
“ Ketika film itu meledak, sampailah film itu ke Bima.Kebetulan di film itu ada adegan saya jalan berdua seorang wanita di Pasar Cikini, orang-orang di kampung saya, heboh semua.Padahal di film itu saya hanya sebagai penggembira saja.Ketika Bapak saya tahu, saya dimarahi.Kata beliau, ‘Katanya ke Jakarta untuk kuliah, ini malah main film’,” kenangnya sambil tersenyum.
Anwar mengenang keterlibatannya dalam dunia teater sebagai salah satu pengalamannya yang paling berkesan.Menurut pria yang ramah ini, dunia teater mengajarkannya banyak hal, termasuk tentang filosofi kehidupan.Dunia teater dan film, menurut mantan Hakim Yustisial Mahkamah Agung ini, pada intinya mengandung unsur edukasi yang mengajak pada kebajikan, termasuk bagaimana bersikap dan bertutur kata.
“ Mengucapkan sumpah seorang diri di hadapan Presiden SBY, banyak teman yang khawatir. Tapi, Alhamdulillah, berkat pengalaman di bidang teater, saya bisa mengatasi kegugupan dan tidak demam panggung ketika harus mengucapkan lafal sumpah,” urai mantan Kepala Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung periode 2006 – 2011 ini.
Sukses meraih gelar Sarjana Hukum pada 1984, Anwar mencoba ikut tes menjadi calon hakim. Keberuntungan pun berpihak padanya ketika ia lulus dan diangkat menjadi Calon Hakim Pengadilan Negeri Bogor pada 1985.
“Menjadi hakim, sebenarnya bukanlah cita-cita saya.Namun, ketika Allah menginginkan, di manapun dipercaya atau diamanahkan dalam suatu jabatan apapun, bagi saya itu menjadi lahan untuk beribadah.Insya Allah saya akan memegang dan melaksanakan amanah itu dengan sebaik-baiknya,” urai pria berjenggot lebat yang pernah bertugas di Pengadilan Negeri Atambua dan Pengadilan Negeri Lumajang tersebut.
Jaga Etika Hakim Konstitusi
Sosok sederhana ini menganggap prestasi tertingginya dalam dunia peradilan sebagai hakim konstitusi, jauh dari bayangannya selama ini. Di Mahkamah Agung, jabatan yang pernah didudukinya, di antaranya menjadi Asisten Hakim Agung mulai dari 1997–2003 yang kemudian berlanjut dengan pengangkatannya menjadi Kepala Biro Kepegawaian Mahkamah Agung selama 2003–2006. Lalu pada 2005, dirinya diangkat menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta dengan tetap dipekerjakan sebagai Kepala Biro Kepegawaian.
Namun, Anwar mengakui tidak asing dengan lembaga peradilan yang berdiri sejak 2003 ini. Selain dari keilmuan yang didalami, ia pun sudah lama mengenal Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva yang sama-sama berasal dari Bima, Nusa Tenggara Barat.
“Saya sudah sering berkomunikasi dengan Pak Hamdan sejak beliau menjadi Anggota Komisi II DPR.Begitu juga halnya dengan Pak Akil (M. Akil Mochtar, red.).Sementara itu, dengan Pak Fadlil (Ahmad Fadlil Sumadi, red.) karena kami pernah bersama-sama di Mahkamah Agung,” ujarnya.
Sejak Mahkamah Konstitusi berdiri ia selalu mengikuti perkembangan lembaga yang dipimpin oleh Moh. Mahfud MD tersebut sehingga tidak sulit beradaptasi dengan lingkungan di MK.
“ Saya langsung beradaptasi. Apalagi Pak Ketua langsung mengajak saya ikut bersidang sesaat setelah saya mengucapkan sumpah di hadapan Presiden. Saya dengar dari teman-teman Kepaniteraan bahwa sidang di MK terkadang sampai tengah malam.Tentu saya pun siap untuk itu,” paparnya.
Prinsip Anwar dalam menjalankan tugas sebagai hakim selama ini selalu mencontoh Rasulullah saw. Dia menyitir kisah Nabi Muhammad SAW. “Dikisahkan dalam sebuah hadist, Rasulullah saw pernah didatangi oleh pimpinan kaum Quraisy untuk meminta perlakuan khusus terhadap anak bangsawan Quraisy yang mencuri. Beliau dengan bijak mengatakan, ‘Demi Allah, jika Fatimah, anakku sendiri mencuri, akan aku potong tangannya’.Artinya, penegakan hukum dan keadilan harus diberlakukan terhadap siapapun tanpa kecuali,” jelasnya.
Disinggung mengenai istri dan ketiga anaknya, pria yang murah senyum inipun menganggap keluarganya sebagai penopang kariernya yang utama. Baginya, dukungan dari sang istri dan ketiga buah hatinya mampu membuatnya bertahan hingga puncak kariernya sebagai hakim konstitusi ini. Ia pun membedakan urusan keluarga dengan urusan pekerjaan.
“Keluarga adalah segala-galanya. Alhamdulillah, sejak awal, istri dan anak saya tercinta mengerti dan memahami untuk tidak mencampuri urusan pekerjaan kantor, tanpa saya minta. Mereka pun tetap mendukung saya,” tandas ayah dari Kurniati Anwar, Kahiril Anwar dan Sheila Anwar ini. (mahkamahkonstitusi.go.id/mda).