Biayai Kuliah dengan Bibit Kakao

Oleh : Mustam Arief

Cerita Sukses Anak Muda Bertani di Lutim (I):

Keterbatasan lapangan kerja, jadi masalah Indonesia. Ini mungkin juga dikontribusi anak-anak muda desa yang sudah tak ingin bertani. Ketika masuk sekolah, ada orangtua kerap berwejangan, ‘’Rajinko belajar supaya tidak jadi lagi petani seperti orangtuamu.’’ Doktrin sesat pikir ini berdampak pada anak-anak muda desa. Mereka kemudian trauma bergelut dengan tanah, cangkul dan parang. Padahal desa dan pertanian adalah lapangan kerja dan masa depan terbuka lebar. 

Kini anak-anak desa bercita-cita jadi petani jadi hal yang langka. Anak petani yang mau jadi petani tinggal hitungan jari. Apalagi telah mengenyam pendidikan di kota. Anak muda langka itu, satu di antaranya adalah Masnawati.

Cewek kelahiran 16 Desember 1994 ini sudah punya tekad bertani. Sejak duduk di SMK Tomoni, warga Desa Tarengge, Kecamatan Wotu, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan ini sudah tak punya pilihan lain. Ditanya mengapa bercita-cita meneruskan jejak orangtua? Alumnus Politeknik Pertanian Pangkep ini tegas menyatakan bertani bebas menentukan jam kerja dan pendapatan.

Tak heran, kini usaha bibit yang dikembangkan di halaman rumah orangtuanya, mampu meraih omset Rp 100 juta setiap tahun. Belum termasuk usaha penjualan pupuk kandang dan hasil pengelolaan kebun coklat di lahan orangnya.

Masna, panggilan Masnawati, bercerita tentang obsesinya menjadi petani. Ketika duduk di bangku SMK Tomoni, ia mengikuti praktik lapangan di Pusat Riset dan Pabrik Pengolahan Kakao PT Mars Indonesia di Wotu. Berbekal pengetahuan dari praktik lapang selama tiga bulan ini, Masnah dan empat temannya lalu berkongsi membuat usaha pembibitan kakao. Lima sekawan ini bermodal Rp 500.000 hasil saweran masing-masing Rp 100.000.

Dari hasil jualan bibit kakao dengan modal Rp 500.000, mereka memperoleh keuntungan Rp 2.500.000. Laba itu kemudian dibagi masing-masing Rp 500.000. Namun, setelah memperoleh keuntungan awal, usaha patungan itu harus bubar. Empat teman Masna sudah ada yang harus melanjutkan pendidikan, bekerja di tempat lain, dan ada yang menikah.

Namun, tidak dengan Masna. Berbekal keuntungan bersama Rp 500.000, ia kemudian melanjutkan usaha bibit kakao di halaman rumah orangtuanya. Dari hasil penjualan bibit kakao itu, Masnah bisa membiayai kuliahnya di Politeknik Pertanian (Politani) Pangkep.

Tamat dari Politani 2016, Masna tak tergiur menjadi pegawai negeri. Ia tetap punya cita-cita menjadi petani. ”Untuk saat ini, tidak ada rencana menjadi pegawai,” ungkap Masna yang juga punya keinginan ke depan akan membeli tanah untuk menambah lahan kebun kakao.

Kini Masna intens menekuni aktivitas mengelola kebun bibit di halaman rumahnya orangtuanya. Lahan di halaman rumah itu menampung 20.000 bibit kakao satu kali kelola. Dalam setahun, Masna mengelola dua periode pembibitan sambung pucuk itu dengan omset penjualan sekitar Rp 100 juta. Dari hasil penjualan tersebut, Masna memperoleh keuntungan antara Rp 40 hingga Rp 60 juta setiap tahun.

Bibit kakao yang dikelola Masna dipasarkan ke petani di berbagai tempat. Selain di Luwu Timur dan Luwu Utara, pembeli juga datang dari berbagai daerah di antaranya, Soppeng, Sidrap, bahkan juga di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah.

”Kami kadang tidak bisa memenuhi permintaan karena jumlah bibit kami masih terbatas dengan hanya 20.000 batang,” kata Masna.

Selain mengelola usaha bibit kakao, Masna juga mengelola kebun kakao sekitar satu hektar  milik orang tuanya. Kebun kakao ini menghasilkan biji kakao dalam kondisi maksimal bisa mencapai dua ton satu kali panen.

Tidak hanya itu, Masna pun tidak menyia-nyiakan peluang berbisnis pupuk kandang dari Sidrap. Kotoran ternak unggas itu dibeli dengan harga Rp 17.000 per karung/sak, dan dijual dengan harga Rp 22.000 per sak kepada petani. Setiap bulan Masna menjual 150 sak pupuk kandang yang dipasok langsung dari daerah asalnya ini.

”Selalu terjual habis, padahal masih banyak yang cari,” ungkap Masna. (mus/bersambung)